Kamis, 13 Juni 2013

KHUTBAH NIKAH

Khutbah Pernikahan

الحَمْدُ للهِ المَحْمُودِ بِنِعْمَتِهِ, المَعْبُودِ بِقُدْرَتِهِ, المُطَاعِ بِسُلْطَانِهِ, المَرْهُوبِ مِنْ عَذَابِهِ وَسَطْوَتِهِ, النَّافِذِ أَمْرُهُ فِى سَمَائِهِ وَأَرْضِهِ, الذى خَلَقَ الخَلْقَ بِقُدْرَتِهِ, وَمَيَّزَهُمْ بِأَحْكَامِهِ, وَأَعَزَّهُمْ بِدِيْنِهِ, وَأَكْرَمَهُمْ بِنَبِِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّم وَكَرِّمْ وَمَجِّدْ وَعَظِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita bersama, sehingga saat ini kita dapat hadir guna memberikan kesaksian dan doa restu kepada kedua calon mempelai yang sesaat lagi akan melaksanakan akad nikah.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, keluarga, sahabat dan ummatnya yang berpegang teguh kepada sunnah-sunnahnya.
Hadirin yang berbahagia. Sesaat lagi kita akan menyaksikan berlakunya sunnatullah bagi setiap hambanya. Kita akan mendengar dua kalimah, yakni ijab dan Kabul yang diucapkan wali dan pengantin pria. Ijab kabul bagi kedua mempelai, ibarat persalinan kedua bagi kedua mempelai. Karena sebuah pernikahan dinamai juga dengan kelahiran kedua; kelahiran pertama, terjadi saat kehadiran anak manusia di pentas bumi ini, saat seseorang pertama kali menghirup udara lepas, ketika itu , masing-masing datang membawa amanah Allah kepada orang tua mereka. Kelahiran kedua, saat seseorang melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang perkawinan dengan ijab kabul, mereka lahir kedua kalinya, tetapi kini, masing-masing menerima amanat Allah melalui orang tua mereka. Selama menjadi amanah ditangan orang tua, sekuat kemampuan, mereka memelihara amanah itu. Ketulusan , bahkan pengorbanan demi pengorbanan mereka persembahkan demi menunaikan amanah itu. Kini pada saat kedua mempelai menerima amanat, maka hendaknya apa yang dilakukan oleh kedua orang tua masing-masing itu, diletakkan di pelupuk mata dan jendela hati, agar sebesar itu pula kesungguhan dan keikhlasan bahkan pengorbanan kedua mempelai memelihara amanat yang diterimanya.
Fase kelahiran yang kedua ini, anda berdua setelah dinikahkan, maka anda berdua juga harus dapat menikahkan budaya dan adat kebiasaan dua keluarga anda, bagaimana anda berdua menjadikan perbedaan budaya dan kebiasaan yang ada bukan sebagai sumber masalah tetapi menjadi inspirasi keindahan kehidupan bagi anda dan keluarga.
Pernikahan tidak cukup hanya dibangun, tetapi juga harus dipertahankan. Pernikahan dilaku- kan dengan kalimat Allah, agar calon suami dan isteri menyadari betapa sucinya peristiwa yang sedang mereka alami, dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan keluarga mereka dinaungi oleh makna kalimat itu: kebenaran, ketegar-an, keadilan, langgeng, tidak berubah, luhur, penuh kebajikan dan dikaruniai anak shaleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.
Kesucian peristiwa pernikahan ananda berdua ini, sehingga Allah meletakkan sejajar dengan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah (ar Ruum:21), bahkan Allah menyebutkan didalam Al Quran termasuk dalam kata mitsaqan ghalidza yaitu perjanjian yang agung atau perjanjian yang berat. Kata tersebut berulang tiga kali dalam al Quran.
Pertama : Ketika Allah membuat perjanjian dengan para Nabi (al Ahzab:7)
Kedua : Ketika Allah mengangkat bukit tursina dia tas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah (an Nisa:154)
Ketiga : Ketika Allah menyatakan hubungan pernikahan (an Nisa:21).
Dengan demikian maka ijab dan kabul merupakan perlimpahan amanat yang agung dari Allah, dan dari orang tua, seagung dan sekokoh perjanjian Allah dengan para Rasul. Karenanya, ijab kabul itu, hanya akan bermakna bila diucapkan oleh orang yang beriman, yang akan melahirkan sikap amanah dan rasa tanggung jawab kepada Allah dan kedua orang tua.
Amanah dari kata yang seakar dengan kata aman, yang bermakna tentram, juga seakar dengan kata iman yang berarti percaya. Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing memilikinya.
Isteri amanah dipelukan suami, suami pun amanah di pangkuan isteri. Orang tuadan
keluarga masing-masing, tidak mungkin akan merestui perkawinan tanpa rasa percaya dan aman. Suami demikian juga isteri- tidak akan menjalin hubungan, kecuali jika masing-masing mereka merasa aman dan percaya kepada pasanganya.
Kesediaan seorang isteri meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan mengganti’ semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki ‘asing’ yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yangpaling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar disbanding dengan kebahagiaannya dengan ibu-bapaknya; pembelaaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan isteri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al Qur’an مِيْثَاقًا غَلِيظًا perjanjian yang amat kokoh.Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, tetapi juga amanat dari Allah SWT.Bukankah ia dijalin atas nama Allah dan dengan menggunakan kalimat-Nya?
Amanah dipelihara dengan mengingat kebesaran dan kemurahan Allah. Ia dipelihara dengan melaksanakan tuntunan agama. Siramilah amanah itu dengan shalat walau hanya lima kali sehari. Kukuhkan ia dengan berjamaah bersama pasangan karena jamaah juga dapat menjamin perekonomian anda berdua.
لاَخَيْرَ فِى دِيْنٍ لاَ صَلاَةَ لَهُ
Tiada kebaikan bagi satu agama yang tiada shalatnya.
مَنْ حَافَظَ على الصَّلاَةِ مع الجَمَاعَةِ لَمْ يُصِبْهُ فَقْرًا أَبَدَا
Barang siapa yang menjaga shalatnya secara berjamaah, dia tidak akan tertimpa kefakiran.
لاَدِيْنَ لِمَنْ لاَأَمَانَةَ لَهُ
Tidak beragama yang tidak memelihara amanahnya.
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانَتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila amanah disia-siakan, maka nantikan masa kehancuran.
Kepada kedua mempelai niatkan pernikahan anda berdua sebagai bagian ibadah kepada Allah. Sehingga ringan bagi anda berdua untuk saling mendekatkan diri kepada Allah.
Akhir kata, jagalah amanah Allah dan kedua orang tua ini dengan baik, pergaulilah pasangan anda sebagaimana dipesankan oleh al Quran :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالمَعْرُوفِ
Dan pergaulilah pasanganmu dengan baik
Semoga akad nikah pada pagi hari ini diridloi oleh Allah dan semoga Allah berkenan memberikan barakah kebaikan dan kemaslahatan bagi mempelai berdua. Amin
أَقُولُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَشَايِخِى وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالحَاضِرِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوهُ . إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيْمُ.
الدُّعَاءُ بَعْدَ العَقْدِ
للحَبِيْب شَيْخ بن أَبُو بَكَر بْن مُحَمَّدْ السَّقَاف
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَحِيمِ. الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْعَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا العَقْدَ مُبَارَكٌ وَالقِرَانَ سَعِيْدٌ. وَاجْعَلْ فِى قُدُمِهِمَا الخَيْرَ وَالبَرَكَةْ وَاليُمْنَ وَالسَّعَادَةَ الأَبَدِيَّةْ. وَبَارِكْ لَهُمَا وَاجْمَعْ شَمْلَهُمَا وَأَدِمِ الأُ لْفَةَ بَيْنَهمُمَا وَارزُقْهُمَا الأَرْزَاقَ الحِسِيَّةَ وَالمَعْنَوِيَّةَ, كُلُّ ذَلِكَ مَصْحُوبًا بِاللُّطْفِ وَالعَفْوِ وَالعَافِيَةِ التَّامَّةِ وَالصِّحَّةِ الكَامِلَةِ وَالذُّرِّيَّةَ الطَّيِّبَةَ المُبَارَكَة. بِحَقِّ رَبَّنَاهَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. وَبِحَقَّ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وإِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الفَاتِحَة…

FIQIH PERNIKAHAN

Wali Nikah Anak Zina

Deskripsi
Hamil di luar nikah akhir-akhir ini nampaknya telah menjadi hal biasa. Sebut saja Anton dan Tini, sepasang muda-mudi yang terlanjur melakukan hubungan di luar nikah. Demi menutupi aib keluarga, keduanya melangsungkan pernikahan setelah kandungan mulai membesar. Dan benar juga, belum ada enam bulan, sang anak telah terlahir. Dua puluh tahun kemudian, sang anak yang telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa, sebut saja Mawar, hendak melangsungkan pernikahan. Anton yang merasa sebagai bapak biologis Mawar, merasa mempunyai hak menjadi wali nikah. Dalam prosesi akad nikah, Anton mewakilkan ijab si Mawar pada Naib. Akhirnya Naib pun menikahkan Mawar dan dalam akad nikahnya, ia menyebutkan muwakkilnya. Misalnya,
(يا زيد أنكحتك وزوجتك مخطوبتك ماوار بنت أنطان مولية أبـيها الذى وكلنى بمهر مليون روبية حالا)
Pertimbangan:
Ü Menyembunyikan aib perbuatan zina adalah anjuran.
Ü Jika Mawar anak zina, pada kenyataanya yang mengijabkan nikahnya adalah Pak Naib yang notabenenya adalah wali hakim.
Pertanyaan
  1. Bolehkan Anton mewakilkan akad nikah Mawar pada pak Naib?
Jawaban
  1. Menurut Syafi’iyyah, taukil Anton tidak sah karena Anton tidak memilikiwilâyah at-tazwîj. Namun karena menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah wali Mawar adalah Anton (shâhibul firasy), maka dalam rangka untuk khurûj minal khilâf, Naib disunnahkan minta izin  kepada Anton untuk menikahkan Mawar, sehingga perwaliannya sah menurut ketiga madzhab (Syafi’i, Hanafi dan Maliki).
R E F E R E N S I
  1. Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 292
  2. Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol. VII hlm. 275
  3. Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 203
  4. Atsnâ Al-Mathâlib, vol. XI hlm. 72
  5. Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol. III hlm. 134
  6. Al-Qulyûby wa Umairah, vol. II hlm. 422
Pertanyaan
  1. Bagaimana hukum pernikahan Mawar?
Jawaban
  1. Apabila dalam akad nikah menggunakan sighat seperti dalam deskripsi (مولية أبيها الذى وكلنى) dengan sengaja dan Naib tahu taukilnya tidak sah, maka hukum pernikahannya tidak sah, karena shighat demikan termasuk kalam ajnabi.
R E F E R E N S I
  1. I’ânah Ath-Thâlibîn vol. III hlm. 373
  2. Al-Mantsûr Fî Al-Qawâ’id, vol. II hlm. 255
  3. Nihâyah Az-Zain, hlm. 223
  4. Qalâ’id Al-Kharâ’id, vol. II hlm. 106

Menikahi Perempuan Pezina

Menikahi perempuan pezina disikapi para ulama dengan dua pendapat yang berbeda: 1. Haram 2. Diperbolehkan Dasar Hukum Rowa’i al Bayan Juz II halaman 49 الحُكْمُ الثَّالِثَ عَشَرَ: هَلْ يَصِحُّ الزَّوَاجُ بِالزَّانِيَةِ؟ إِخْتَلَفَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ فِى هَذِهِ المَسْأَلَةِ عَلَى قَولَيْن : الأَوَّلُ: حُرْمَةٌ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ, وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ عَلِيٍّ وَالبَرَّاءِ وَعَائِشَةَ وَابْنُ مَسْعُودٍ الثَّانِي: جَوَازُ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الجُمْهُورِ وَبِهِ قَال الفُقَهَاءُ الأَرْبَعَةُ مِنَ الأَئِمَّةِ المُجْتَهِدِيْنَ Hukum ketigabelas mengenai apakah sah menikahi perempuan pezina? Ulama salaf dalam menyikapi masalah ini, terpecah menjadi dua pendapat: 1. Haram menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Sayidina Ali, Al Barra’, Aisyah dan Ibn Mas’ud. 2. Diperbolehkan menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Abu Bakar, Umar dan Ibn Abbas. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas dan didukung Madzhab Empat yaitu para imam mujtahid kenamaan.

Kedudukan Kepala KUA Sebagai Wali Hakim Dalam Tinjauan Fiqh

Dalam PMA No. 11 Tahun 2007 disebutkan bahwa wali hakim bagi wanita yang tidak memiliki wali dengan berbagai sebab adalah Kepala KUA. Seorang Kepala KUA meskipun tidak bisa disejajarkan dalam derajat qodli karena tidak memiliki kewenangan mengadili maupun memutuskan, dan hanya sebagai seorang ma’dzun syar’i atau pegawai pencatat nikah, namun dalam kaitan statusnya sebagai wali hakim, Kepala KUA termasuk pada kriteria pegawai yang diberi wewenang. Bahkan seandainya pimpinan yang menunjuk sebagai wali hakim itu adalah seorang presiden perempuan. Keabsahan ini meneguhkan legalitas pernikahan yang dilakukan dengan perwalian hakim tersebab alasan yang dibenarkan syariat. sebagaimana keputusan Muktamar NU TH. 1999 di Kediri sbb: Deskripsi Masalah: Mengikuti perkembangan kondisi politik di tanah air pasca pemilu 1999 ini. Kiranya perlu segera ada sikap dan konsep yang jelas dari PBNU mengenai masalah yang sangat prinsip bagi kaum muslimin. Yaitu masalah WALI HAKIM dalam pernikahan, apabila presiden RI dijabat oleh seorang perempuan. Dalam hal ini NU telah menetapkan sejak Bung Karno, bahwa Presiden RI adalah Waliyyul amri adl-dlorury bisy-syaukah agar mengesahkan pernikahan yang dilakukan oleh wali hakim. Pertanyaan 1. Apakah wilayah hakim dalam pernikahan harus di tangan Presiden atau Menteri Agama saja? Jawaban: Wilayah hakim dalam pernikahan berada di tangan Presiden dan aparat terkait yang ditunjuk Presiden. Dasar Pengambilan: 1- المغنى الشرح الكبير لإبن قدامة المقدسى الجزء السابع ص 351 وعبارته: قال : صلى الله عليه وسلم فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لاولي له اخرجه ابو داود. السلطان هنا هو امام او الحاكم او من فوّضا اليه ذلك. 2- اعانة الطالبين الجزء الثالث ص314 وعبارته: قوله والمراد اى السلطان: من له ولاية اى عامة اوخاصة…: وحاصل الدفع ان المراد بالسـلطان: كل من له سلطان وولاية على المرأة عاما كان كالامام او خاصا كالقاضى والمتولى لعقود الانكحة. 3- الباجورى الجزء الثانى ص106 وعبارته: ثم الحاكم عاما كان او خاصا كالقاضى اوالمتولى بعقود الانكحة او لهذا العقد بخصوصه. 2. Bila ditangan Presiden, apakah wanita sah menjadi wali hakim? Jawaban: Sah karena kelembagaan Presiden sebagai wilayah ammah.
Dasar Pengambilan:
1- بجيرمى على الخطيب الجزء الثانى ص: 337 وعبارته: لاتعقد امرأة نكاحا… إلا إذا وليت الامامة العظمى, فإن لها ان تزوج غيرها لا نفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه. 2- الباجورى الجزء الثانى ص:101 وعبارته: (وقوله ولاغيرها) اى ولاتزوج غيرها لابولاية ولاوكالة لخبر لاتزوج المرأة المرأة ولاالمرأة نفسها… نعم, إن تولت امرأة الإمامة العظمى والعياذ بالله تعالى نفذت احكامها للضرورة كما قاله عزالدين ابن عبد السلام وغيره وقياسه صحة تزويجها غيرها بالولاية العامة. 3.- حاشية البجيرمى على المنهج الجزء الثالث ص :337 4.- وعبارته:قال ح ل (الحلبى) إلا اذا وليت الامامة العظـمى فإن لها أن تزوج غيرها لانفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه
Namun terkadang seorang Kepala KUA melampaui kewenangannya dengan mewakilkan orang-orang yang ditunjuknya. Padahal aturan kenegaraan sebagaimana diatur dalam PMA 11 Tahun 2007 atau aturan-aturan sebelumnya sama sekali tidak memberi kewenangan kepada seorang Kepala KUA untuk mewakilkan. Aturan ini dikukuhkan oleh Fiqh sehingga orang yang menerima perwakilan wali hakim dari seorang Kepala KUA tidak sah menikahkan.
Namun, penggantian posisi wali hakim yang berhalangan ini disyahkan dalam tinjauan fiqh apabila disahkan oleh aturan Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam kitab Zaitunah al Ilqah halaman 169 :
وَنَصُّوا عَلَى أَنْ يَسْتَنِيْبَ إِذَا لَهُ * بِهِ أَذِنَ السُّلْطَانُ نَصًّا بِلاَ سَدِّ
وَحَيْثُ جَرَى إِذْنٌ لَهُ فِى تَزَوُّجٍ * فَزَوَّجَ صَحَّ العَقْدُ مِنْ غَيْرِ مَا صَدِّ
Ulama Syafiiyah menetapkan diperbolehkannya orang lain mengganti (posisi) hakim apabila pemerintah mengizinkan dengan penetapan yang tidak tertolak. Apabila izin bagi pengganti hakim dalam menikahkan didapatkan, kemudian pengganti hakim ini menikahkan, maka sahlah akad nikahnya tanpa ada halangan.
Ibarat kitab ini, disamping menguatkan pembolehan mengganti posisi wali hakim yang lowong oleh sebab-sebab tertentu, juga menafikan keabsahan wakalah wali hakim yang tidak dilakukan Ka Sie Urais untuk atas nama Menteri Agama, sebagaimana dalil diatas; orang lain boleh mengganti posisi hakim apabila pemerintah selaku sulthan mengizinkan. PMA no. 11 tahun 2007 menyatakan yang berhak menunjuk penghulu untuk mengganti jabatan Kepala KUA yang berhalangan untuk menjadi wali hakim adalah Ka Sie Urais. Karena itu Kepala KUA tidak boleh melampaui wewenangnya dengan mewakilkan sendiri tanpa sepengetahuan Ka Sie Urais Wallahu A’lam.

Keharusan Izin Bagi Wali Ghairu Mujbir

Suatu hari ada orang yang mempertanyakan tindakan penghulu yang memerintahkan kakak kandung yang menjadi wali dari adiknya untuk meminta izin adiknya yang menjadi pengantin apakah boleh mewakilkan proses ijab nya kepada penghulu. Selain kakak kandung seperti anak saudara, paman dan seterusnya disebut juga dengan wali ghoiru mujbir atau wali yang tidak bisa memaksa. Jika wali ghoiru mujbir ingin menikahkan seorang perempuan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti: 1. Wali ghoiru mujbir wajib meminta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Tidak mencukupi kalau hanya dari persetujuan perempuan tersebut atas tawaran ibunya atau orang lain. Wali ghoiru mujbir harus meminta izin atau mendapat izin secara langsung dari perempuan tersebut. 2. Wali ghoiru mujbir boleh mewakilkan kepada orang lain untuk mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan setelah mendapat izin dari perempuan yang hendak dinikahkan, dan selama tidak ada larangan untuk mewakilkan. 3. Wakil wali ghoiru mujbir disunnahkan untuk meminta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Dengan demikian tindakan penghulu yang seperti ini sudah sesuai dengan aturan seharusnya dan merupakan peng-ejawentahan dari penjelasan dari kitab al Majmu’ fi ahkam al nikah hal 97 : وَلِلأَبِ وَالجَدِّ التَوكِيْلُ فِى تَزْوِيْجِ البِكْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا وَلِغَيْرِهِمَا مِنَ الأَوْلِيَاءِ التَوْكِيْلُ بَعْدَ إِسْتِأْذَانِهَا إِنْ لَمْ تَنْهَ عَنِ التَوْكِيْلِ . فَلَو وَكَّلَ قَبْلَ أَنْ تَأَذَّنَ لَمْ يَصِحَّ وَيُنْدَبُ لِلوَكِيْلِ إِسْتِأْذَانِهَا. Diperbolehkan bagi ayah dan kakek untuk mewakilkan dalam pernikahan anaknya yang masih gadis tanpa seizinnya. Dan bagi wali-wali selain ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru mujbir) boleh mewakilkan setelah minta izin perempuan tersebut untuk menikahkannya, dan jika ia tidak melarang untuk mewakilkan. Andaikata wali ghoiru mujbir mewakilkan sebelum mendapat izin dari perempuan maka perwakilannya tidak sah. Dan disunnahkan bagi wakil wali ghoiru mujbir untuk minta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Al Fiqh al Minhaji hal 70, secara spesifik memberikan alasan ketidak absahan perwakilan wali ghoiru mujbir tanpa izin perempuan : أَمَّ غَيْرُ المُجْبِر مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَهُوَ غَيْرُ الأَبِّ وَالجَدِّ فَلاَ يَجُوزُ لَهُ التَّوَكِيْلُ فِى التَزْوِيْجِ إِلاَّ بِإِذْنِ المَرْأَةِ لأَنَّهُ لاَيَمْلِكُ تَزْوِيْجِهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا فَأَولَى أنْ لاَيَمْلِكُ أَنْ يَوَكِّلَ مَنْ يُزَوِّجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا Adapun wali ghoiru mujbir, yaitu selain ayah dan kakek (saudara, paman dst), tidak boleh mewakilkan untuk menikahkan seorang perempuan kecuali dengan seizing perempuan tersebut, karena ia tidak memiliki hak untuk menikahkannya tanpa seizinnya. Terlebih lagi, ia tidak berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkannya tanpa seizinnya. Proses izin kepada calon pengantin untuk mewakilkan proses ijab nikah bahkan disunnahkan untuk dipersaksikan apakah calon pengantin mengizinkan atau tidak, sebagaimana keterangan dalam I’anah al Tholibin Juz 3 Halaman 313 : وَيُنْدَبُ لِغَيْرِ الأَبِّ وَالجَدِّ الإِشْهَادُ عَلَى الإِذْنِ Disunnahkan bagi wali selain ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru mujbir) untuk mempersaksikan ketika perempuan memberi izin.

Memberikan Uang Pesangon Untuk Isteri Yang Diceraikan

Seharusnya sudah menjadi sesuatu yang dimaklumi, seorang suami memiliki kewajiban untuk menghidupi isterinya. tapi tidak jarang ada suami yang bergantung pada isterinya atau bahkan menelantarkan serorang isteri. Hubungan pernikahan disamping merupakan hubungan hati/perasaan, juga merupakan hubungan transaksional muamalah. Artinya ada hak-hak hukum dalam transaksi itu yang harus dipenuhkan. Diantara hak-hak hukum yang harus dipenuhkan adalah kewajiban memberikan mut’ah (uang pesangon) kepada isteri yang dicerai. Meskipun dalam budaya kita hal ini tidak populer terlebih bila sang suami merupakan orang yang tidak bertanggungjawab dan komitmen pernikahan adalah untuk selamanya, namun sebagai bukti pertanggungjawaban suami, bila suami menceraikan isterinya, dia wajib memberikan uang pesangon atau dalam bahasa arab disebut  mu’nah dengan ketentuan sebagai berikut :
• Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
• Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
• Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Penjelasan diatas lebih jelas bisa ditemukan dalam I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356
تَتِمَّةٌ تَجِبُ عَلَيْهِ لِزَوجَةٍ مَوْطُوعَةٍ وَلَو أَمَةً مَتْعَةٌ بِفِرَاقٍ بِغَيْرِ سَبَبِهَا وَبِغَيْرِ مَوتِ أَحَدِهِمَا (قَولُهُ لِزَوْجَةٍ مَوطُوعَةٍ) وَكَذَا غَيْرُ المَوطُوعَةِ التى لَمْ يَجِبْ لَهَا شَيْءٌ أَصْلاً وَهُوَ المُفَوِّضَةُ الَّتِى طُلِّقَتْ قَبْلَ الفَرْضِ وَالوَطْءِ فَتَجِبُ لَهَا المُتْعَةُ لِقُولِهِ تَعَالَى: لاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طُلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيْضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ .أمَّا الَّتِى وَجَبَ لَهَا نِصْفُ المَهْرِ فَلاَ مُتْعَةَ لَهَا لأَنَّ النِّصْفَ جَابِرٌ لِلإِيحَاسِ الَّذِى حَصَلَ لَهَا بِالطَّلاَقِ مَعَ سَلاَمَةِ بِضْعِهَا وَلَو قَالَ كَغَيْرِهِ لِزَوْجَةٍ لَمْ يَجِبْ لَهَا نِصْفُ مَهْرٍ فَقَطْ بِأَنْ لَمْ يَجِبْ لَهَا المَهْرُ أَصْلاً او وَجَبَ لَهَا المَهْرُ كُلُّهُ لَكَانَ أَولىَ لَهَا فِى عِبَارَتِهِ مِنَ الإِيْهَامِ الذِى لاَيَخْفَى.

googleb5361253a00a2be6.html

Kekeliruan Penghulu Dalam Menikahkan

Dalam sebuah pernikahan, tidak jarang kita menemui seorang wali, wakil wali atau pengantin pria keliru dalam mengucapkan sighat ijab kabul, sehingga seringkali “dipaksa” hadirin untuk diulang ijab kabulnya. Sebenarnya ada beberapa toleransi kekeliruan yang tidak mempengaruhi keabsahan sebuah akad. Salah satu contohnya adalah kekeliruan penghulu atau orang yang mendapat wakalah menikahkan, menyebutkan nama wali, seperti Fatimah binti Utsman diucapkan Fatimah binti Umar, maka pernikahan itu hukumnya tetap sah apabila pada waktu akad tadi wali atau penghulu memberi isyarat kepada calon isteri atau wali atau penghulu menyengaja terhadap calon isteri yang dimaksud seperti kata ya muhammad hadza (wahai muhammad ini/yang ada dihadapanku) meski ternyata namanya abdullah misalnya, ijab kabul tetap sah karena ada penyebutan hadza/orang ini atau diniatkan orang yang ada dihadapannya. ketentuan ini sesuai dengan paparan dalam kitab  Bughyatul Mustarsyidin halaman 200
(مَسْئَلَة ش) غَيَّرَتْ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا عِنْدَ إِسْتِئْذَانِهِاَ فِى النِّكَاحِ وَزَوَّجَهَا القَاضِىبِذَلِكَ الإِسْمِ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا غَيْرُ مَا ذَكَرْتَهُ فَإِنْ أَشَارَ إِلَيهَا حَالَ العَقْدِ بِأَنْ قَالَ زَوَّجْتُكَ هَذِهِ أَوْ نَوَيَاهَا بِهِ صَحَّ النِّكَاحُ سَوَاءٌ كَانَ تَغْيِيْرُ الإسْمِ عَمْدًا اوسَهْوًا مِنْهُ أَوْمِنْهَا إِذِ المَدَارُ عَلَى قَصْدِ الوَالى وَلَو قَاضِيًا وَالزَّوجُ كَمَا قَالَ زَوَّجْتُكَ هِنْدًا وَنَوَيَا دَعْدًا عَمَلاً بِنِيَّتِهَا
(masalah sy) seorang perempuan mengganti namanya atau nasabnya ketika meminta izin dalam pernikahan dan hakim menikahkannya dengan nama itu ternyata nama dan nasabnya itu bukan nama atau nasab yang disebutkan. Bila akad itu diisyaratkan kepadanya dengan gambaran hakim berkata saya nikahkan engkau dengan orang ini, atau meniatkan kepada sang pengantin putri ketika menyatakan nama yang keliru itu, maka pernikahannya tetap sah, baik perubahan nama itu disengaja atau karena lupa nasab dan namanya, karena acuan hukum yang digunakan adalah penyengajaan wali, meski wali hakim dan penyengajaan suami, sebagaimana perkataan wali saya nikahkan kamu dengan hindun dan meniatkan dakdan, hal ini juga berdasar niat pengantin perempuan.

Kehadiran Wali Nikah Yang Sudah Mewakilkan.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat, terutama dikalangan kelas menengah kebawah, seringkali wali nikah baik orang tua kandung, kakak kandung ataupun siapa saja yang kebetulan menjadi wali, mewakilkan pernikahan catin perempuan kepada penghulu. Atau atas pesan salah seorang pengantin agar Kyai yang menikahkan.
Tidak jarang dalam proses akad nikah tersebut, Kyai atau Penghulu setelah menerima akad wakalah/wakil untuk menikahkan, Kyai atau Penghulu memerintahkan wali untuk keluar dan tidak berada dalam majelis akad, dengan alasan sudah diwakilkan kok masih dimajelis?!
Sebenarnya  dalam tinjauan fiqh apabila seorang wali nikah telah mewakilkan akad nikah kepada orang lain, kemudian ikut hadir dalam majlis akad tersebut, maka akad itu dihukumi sah, selama hadirnya si wali tersebut tidak untuk menjadi saksi nikah. Penjelasan ini dapat dilihat lebih lengkap dalam Hasyiyah al Bajuri II/102 yang secara ringkas sebagai berikut
فَلَو وَكَّلَ الأَبُّ أَوِ الأَخُ المُنْفَرِدِ فِى العَقْدِ وَحَضَرَ مَعَ آخَرَ لِيَكُونَا شَاهِدَيْنِ لَمْ يَصِحَّ لأَنَّهُ مُتَعَيِّنٌ لِلعَقْدِ فَلاَ يَكُونُ شَاهِدًا.
Seandainya bapak atau saudara yang sendiri mewakilkan dalam akad, dan hadir besertaan yang lain agar keduanya menjadi saksi, maka pernikahan tersebut tidak sah karena saksi itu menegaskan keberadaan akad, maka wali tidak dapat menjadi saksi.

Akad Ulang Untuk Legalitas

Sering orang melakukan nikah sirri, tidak melalui KUA. Dikemudian hari, dia meresmikan pernikahannya melalui KUA dan dalam peresmian tersebut dia melakukan akad nikah lagi. Hukum akad nikah yang kedua ini adalah MUBAHdan dalam akad nikah kedua ini pengantin pria tidak wajib membayar mahar lagi. Nikah kedua ini juga tidak mempengaruhi terhadap haqqut thalaq menurut pendapat yang shahih. Yang mendasari pendapat ini adalah pernyataan dalam kitab Fathul Baari XIII/159
(بَابُ مَنْ بَايَعَ مَرَّتَيْنِ) حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمْ عَنْ يَزِيْدِ ابْنِ أَبِى عُبَيْدَة عَنْ سَلَمَةَ رض. قَالَ : بَايَعْنَا النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِى اَلاَ تَبَايَعَ قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَارَسُولَ اللهِ فِى الأَوَّلِ قَالَ وَفِى الثَّانِى رَوَاهُ البُخَارِى قَالَ ابْنُ مُنِيْر يُسْتَفَادُ مِنْهَذَا الحَدِيْثِ أَنَّ إِعَادَةَ عَقْدِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ لَيْسَ فَسْحًا لِلْعَقْدِ الأَوَّلِ خِلاَفًا لِمَن زَعَمَ ذَلِكَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ قُلْتُ الصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ فَسْخًا كَمَا قَالَ الجمْهُور أهـ
(bab tentang orang yang melakukan transaksi jual beli dua kali) bercerita kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari Yazid ibn Abi Ubaidah dari Salmah RA. Salmah berkata : “saya melakukan transaksi jual beli dengan Nabi Muhammad SAW di bawah pohon, kemudian Rasul berkata padaku, apakah kamu tidak melakukan akad transaksi? Saya telah melakukan akad wahai Rasulullah pada waktu pertama, Nabi berkata; dan pada waktu yang kedua.” Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier berpendapat : Dari hadits ini dapat diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa mengulangi akad nikah atau yang lainnya itu tidak merusak akad yang pertama berbeda dengan orang yang menyangka bahwa hal itu dari ulama as Syafii. Penyusun kitab Fathul Bari berkata : “ pendapat yang benar menurut ulama syafii, pernikahan itu sah tidak merusak sebagaimana disampaikan oleh mayoritas ulama.”
Akad nikah ulang atas perintah Kantor Urusan Agama ini, sama halnya dengan tajdiidunnikah atau orang jawa sering mengistilahkan dengan mbangun nikah.Menurut pendapat yang shahih, memperbarui nikah itu hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui akad itu hanya sekedar keindahan (tajamul) atau berhati-hati (ihtiyath). Meski pendapat lain sebagaimana disebutkan dalam kitab al Anwar akad baru tersebut bisa merusak akad yang telah terjadi.namun sejauh ini hanya kitab ini saja yang diketahui menyatakan bahwa mengulang nikah menyebabkan rusaknya pernikahan terdahulu. Ketentuan diatas didasari pernyataan pengarang kitabSyarah Minhaj Li Shihab Ibn Hajar Juz 4 halaman 391
إِنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةُ الزَّوجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدِ ثَانٍ مَثَلاً لاَيَكُونُ إِعْتِرَافًا بِإِنْقِضَاءِ العِصْمَةِ الأولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيْهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لآنَّهُ مُجَرَّدُ تَجْدِيْدٍ طُلِبَ مِنَ الزَّوجِ لِتَجَمُّلٍ أَو إحْتِيَاطٍ فَتَأَمَّل.
Sesungguhnya murninya kecocokan suami pada kasus akad yang kedua misalnya, bukanlah pengakuan atas rusaknya penjagaan atas akad yang pertama, bahkan hal itu bukan sindiran untuk itu, dan ini jelas. Karena akad kedua itu hanyalah untuk memperbarui sebagai tuntutan pada suami untuk memperindah (hubungan) dan berhati-hati, camkanlah.
Terkait persepsi mengenai nikah bawah tangan (sirri) yang berbeda-beda diantara pihak pemerintah dan sebagian masyarakat menimbulkan saling curiga kedua pihak. Masyarakat sebagai pihak obyek hukum berkesan merasa selalu dipersulit. Pengajuan pencatatan nikah dari mereka yang pernah melakukan nikah bawah tangan diharuskan melakukan akad nikah kembali, jika tidak dipenuhi maka pihak KUA tidak berkenan memberi surat akta nikah dan hal yang demikian tidak jarang menimbulkan perdebatan ramai antara kedua belah pihak. Perlu diketahui bahwa KUA boleh memaksakan hal itu karena menjalankan ketentuan aturan negara. Bahkan apabila ditemukan  atau diduga terjadi kebohongan-kebohongan, perintah nikah ulang hukumnya menjadi wajib. Kewenangan perintah untuk mengulang nikah ini seiring dengan pendapat dalam kitab Ianat Thalibin Juz 3 hal 302 dan Asna al Mathalib Juz 3 hal 157
اعانة الطالبين ج 3 ص 302
وقوله فيه: متعلق بمحذوف صفة لحجة، أي بحجة مقبولة في ثبوت النكاح وهي رجلان، أو علم الحاكم
أسنى المطالب الجزء الثالث ص: 157
(قوله قال إبراهيم المروزي إلخ) أشار إلى تصحيحه وكتب عليه ما نقله عن المروزي مخالف لما صححه في النكاح من أن البالغة العاقلة إذا أقرت بالنكاح فقالت زوجني ولي بعدلين ورضاي إن كانت ممن يعتبر رضاها وكذبها الولي فثلاثة أوجه أصحها يحكم بقولها لأنها تقر على نفسها قاله ابن الحداد والشيخ أبو علي والثاني لا لأنها كالمقرة على الولي قاله القفال والثالث يفرق بين العفيفة والفاسقة قاله القاضي حسين ولا فرق في هذا الخلاف بين أن تقيد الإقرار وتضيف التزويج إلى الولي فيكذبها وبين أن تطلق ثم قال ويجري الخلاف أيضا في تكذيب الشاهدين إذا كانت قد عينتهما والأصح أنه لا عبرة بتكذيبهما لاحتمال النسيان والكذب هذه عبارته وبها يظهر أن ما نقله عن المروزي ضعيف مبني على أن تكذيب الشهود المعينين يقدح فإن قلنا لا يقدح قبل قولها في الموضعين وقد بينه في الكفاية كذلك فقال في باب التحليل ولو قال الزوج أنا أعلم أن الزوج الثاني لم يدخل بها ثم قال بعد ذلك علمت أنه أصابها قال الشافعي يقبل ذلك منه وكان له أن يتزوجها ولو قال الزوج الثاني لم أدخل بها وادعت الزوجة الدخول هل للأول نكاحها وكذلك لو جاء الولي والشهود الذين ادعت انعقاد النكاح بحضورهم وأنكروا ذلك لم يقبل منهم وأشار البغوي إلى شيء من ذلك وهو مستمد من إقرار المرأة بالنكاح فإن المذهب أنه يعمل به مع تكذيب الولي والشهود

Menikah melalui telepon/teleconfrence

Saya pernah mendengar kabar ada seorang dosen perguruan tinggi menikahkan anaknya melalui telepon. saya juga pernah mendengar seorang penghulu kantor urusan agama di jawa barat menikahkan melalui teleconfrence.
Sesungguhnya dalam tinjauan fiqh syafi Ijab qabul dalam akad nikah melalui telepon atau teleconfrence  hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan langsung antara orang yang melaksanakan akad nikah. Keharusan para pihak, calon pengantin harus dalam satu majelis ini untuk meminimalisir penipuan atau untuk meyakinkan terjadinya pernikahan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar II/51 dijelaskan :
(فرع) يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ خُضُورُ أَرْبَعَةٍ. وَلِيٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(cabang) disyaratkan dalam keabsahan nikah, hadirnya 4 orang: wali, calon suami dan dua orang saksi yang adil.
begitu juga dalam kitab Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib III.335 disampaikan
وَمِمَّا تَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَّبْطُ (قُولُهُ وَالضَبْطُ) اى لأَلْفَاظِ وَلِى الزَّوجَةِ وَالزَّوجُ فَلاَ يَكْفِى سِمَاعُ الفَاظِهِمَا فِى ظُلْمَةٍ لأَنَّ الأَصْوَاتَ تَشْبِيْهٌ.
Dan sebagian dari hal-hal yang diabaikan dari syarat saksi dalah mendengar, melihat dan cermat (pernyataan penyusun : dan cermat) maksudnya cermat atas ucapan wali pengantin putri dan pengantin putra. Tidak cukup mendengar ucapan mereka di kegelapan karena mengandung keserupaan.
Ketidak absahan ini bukan berarti hukum Islam mengesampingkan teknologi, namun dibalik kecanggihan teknologi juga ada kemudahan dalam memanipulasi. bisa saja suaranya dirubah, didubling oleh suara orang lain, pastinya kita sudah mengetahui banyak tentang hal ini.
Sebuah pernikahan merupakan benang tipis antara ibadah dan kemaksiatan, setiap kekeliruan dalam pernikahan bisa mengakibatkan perzinaan diantara dua orang. karena itu harus dijalankan secara berhati-hati dan tidak sembrono.
Bagaimana bila salah satunya berhalangan hadir? perlu diketahui pula, bahwa ketidak mampuan hadir dapat diganti dengan cara mewakilkan baik melalui surat, utusan orang atau telepon. Dalam Kantor Urusan Agama biasanya juga disediakan blangko tauliyah bil kitabah

MENYEDERHANAKAN BAHASAN 

Mayyit (orang mati) tentunya tidak mungkin bisa melakukan perbuatan (amal) tertentu karena sudah meninggal. Namun, mayyit tetap bisa mendapatkan manfaat dari amalnya sendiri (perbuatan si mayyit sendiri) yakni berupa :


1. Shadaqah Jariyah.
Jika seseorang menshadaqahkan hartanya misal untuk pembangun masjid, madrasah dan lainnya, itu adalah amalnya (pebuatan) ketika masih hidup, yang mana ia pahalanya akan terus mengalir kepadanya serta memberikan manfaat kepadanya baik ketika masih hidup maupun ketika ia mati. Itu amalnya sendiri.

2. Ilmu Yang Bermanfaat.
Seseorang yang ketika hidupnya menyebarkan ilmu semisal dengan cara mengajar ilmu Fiqh, hadits dan lain sebagainya, maka ia akan mendapatkan pahala yang bermanfaat baginya baik ketika ia hidup maupun ketika ia mati. Pahala akan terus mengalir seiring dengan dimanfaatkannya ilmu yang ia telah ajarkan. Itu termasuk dari amalnya sendiri.

3. Anak Shalih Yang Berdo’a Untuknya.
Adanya seorang anak karena adanya kedua orang tuanya, dimana kedua orang tuanya yang berusaha atas adanya seorang anak, oleh karena itu amal seorang anak merupakan bagian dari usaha (amal) dari kedua orang tua. Maka apabila seseorang memiliki anak dan anak tersebut berdo’a untuknya, maka itu termasuk dari amal seseorang itu sendiri (bukan orang lain).

Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“apabila seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a untuknya”. []

Dari tiga hal tersebut akan terus mengalir pahalanya yang akan memberikan manfaat kepada orang mati. Namun bagaimana jika orang lain yang beramal untuknya atau ditujukan kepadanya ?

AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA DO’A (DO’A ORANG LAIN)

Do’a dari orang lain adalah do’a yang dilakukan oleh orang lain (bukan si mayyit) yang ditujukan kepada orang mati. Misal, seorang muslim berdo’a untuk sahabatnya yang meninggal dunia. Maka itu adalah do’a yang berasal dari orang lain, sekaligus itu adalah amal orang lain (bukan amal si mayyit). Ini adalah salah satu bagian yang ada dalam tahlilan (kenduri arwah).

Amal dari orang lain yang berupa do’a ini akan memberikan manfaat kepada mayyit (orang mati) yang dido’akan. Orang lain yang dimaksud adalah selain diri mayyit juga selain anak kandung dari si mayyit sendiri, misalnya seperti saudara, paman, bibi, sepupu, teman dan sebagainya. Ulama Ahl Sunnah telah sepakat bahwa do’a bermanfaat bagi mayyit meskipun itu berasal dari amal orang lainDemikian juga ulama dari aliran Wahhabiyah menyetujui bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa do’a.

Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa Menyetujui Bahwa Mayyit Bisa Mendapatkan Manfaat dari Amal Orang Lain Berupa Do’a, yakni pada pertanyaan ke-13 dari fatwa no. 3323 yang anggota antara lain : Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua.

س13: ما قولكم في الدعاء للميت؛ هل هو نافع أم لا؟
“Soal : apa komentar kalian tentang do’a untuk orang mati ; apakah itu bermanfaat atau tidak ?”

ج13: الدعاء الشرعي ينفع الميت بإجماع أهل السنة والجماعة؛ لقوله تعالى: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
jawaban : “do’a syar’i memberikan manfaat bagi orang mati berdasarkan ijma’ (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Yakni berdasarkan firmah Allah Ta’alaa { Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang}"

AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA SHADAQAH

Shadaqah dilakukan oleh yang hidup untuk orang yang mati, yang berarti bahwa shadaqah tersebut merupakan amal orang lain (bukan amal si mayyit). Amal orang lain yang masih hidup berupa shadaqah yang pahalanya untuk orang mati itu memberikan manfaat bagi mayyit. Hal ini telah disepakati dan menjadi ijma’ ulama Ahl Sunnah wal Jama’ah, dimana aliran Wahhabiyah pun telah menyetujuinya. Artinya aliran Wahhabiyah menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shadaqah orang yang hidup. Berikut diantara pernyataannya :

Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa Tentang Amal Dari Orang Lain Untuk Mayyit Berupa Shadaqah yaitu pada sebuah jawaban dari pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 501 yang anggotanya sebagai berikut : Syaikh Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua.

ج2: الصدقة عن الميت من الأمور المشروعة، وسواء كانت هذه الصدقة مالا أو دعاء، فقد روى مسلم في الصحيح، والبخاري في الأدب المفرد، وأصحاب السنن عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له  » فهذا الحديث يدل بعمومه على أن ثواب الصدقة يصل إلى الميت ولم يفصل النبي صلى الله عليه وسلم بين ما إذا كانت بوصية منه أو بدون وصية، فيكون الحديث عاما في الحالتين، وذكر الولد فقط في الدعاء للميت لا مفهوم له بدليل الأحاديث الكثيرة الثابتة في مشروعية الدعاء للأموات، كما في الصلاة عليهم، وعند زيارة القبور، فلا فرق أن تكون من قريب أو بعيد عن الميت. وفي الصحيحين عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم «أن رجلا قال: يا رسول الله إن أمي ماتت ولم توص، أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال صلى الله عليه وسلم: نعم 
“Jawaban : shadaqah untuk mayyit termasuk perkara yang disyariatkan, sama saja baik shadaqah tersebut berupa harta atau do’a. Sungguh Imam Muslim telah meriwayatkan didalam Ash-Shahih, al-Bukhari didalam Adabul Mufrad dan Ashhabus Sunan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘’anh, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : {apabila cucu Adam mati maka terputus amalnya kecuali 3 hal yakni shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, hadits ini menujukkan keumumannya atas sampainya pahala shadaqah kepada mayyit dan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak merincikan apakah dengan cara wasiat atau tanpa wasiat, maka keberadaan hadits ini umum pada dua hal tersebut, penyebutan anak saja pada do’a untuk orang mati bukan mafhum untuknya berdasarkan dalil hadits-hadits yang banyak serta tsabit tentang disyariatkannya do’a untuk orang mati, sebagaimana pada shalat jenazah atas mereka, ketika ziarah kubur, dan tidak ada perbedaan baik keberadaaanya itu dekat atau jauh dari mayyit. Dan didalam Ash-Shahihain dari Aisyarah radliyallahu ‘anhaa dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {bahwa seorang laki-laki bertanya : wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan tidak berwasiat, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah untuknya ?, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”}.

Pertanyaan ke-2 dari fatwa no. 2634 yang anggota nya sebagai berikut : Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua.

س2: هل صدقة الحي عن الميت ينتفع بها الميت؟ ج2: نعم ينتفع الميت بصدقة الحي عنه بإجماع أهل السنة والجماعة؛ لما رواه البخاري ومسلم من حديث عائشة رضي الله عنها؛ «أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إن أمي افتلتت نفسها ولم توص، وأظنها لو تكلمت تصدقت، أفلها أجر إن تصدقت عنها؟ قال: نعم  » ، ولما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس رضي الله عنهما، «أن سعد بن عبادة رضي الله عنه توفيت أمه وهو غائب عنها، فأتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله إن أمي توفيت وأنا غائب عنها فهل ينفعها إن تصدقت عنها؟ قال: "نعم" قال: إني أشهدك أن حائطي المخراف صدقة عنها  » . إلى غير ذلك من الأحاديث الصحيحة في الصدقة عن الميت وانتفاعه بها.
“Soal ; apakah shadaqah orang yang hidup untuk orang mati bisa bermanfaat bagi orang mati ?” Jawaban : “Iya, orang mati bisa mendapatkan manfaat dari shadaqah orang yang hidup untuknya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari hadits Aisyah radliyallahu ‘anhaa {bahwa seornag laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan berkata : wahai Rasulullah, sesungguhnya nafas ibuku sesak namun ia tidak berwasiat, dan aku menduga seandainya ia masih bisa bicara ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapat pahala jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : iya}. Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhaa {Sungguh Sa’ad bin Ubadah radliyallah ‘anh ketika ibunya wafat, ia tidak ada disana, maka ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam kemudian berkata : wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku wafat, sedangkan aku tidak ada disampingnya, apakah bermanfaat jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : “iya”, maka Sa’ad berkata : “Sesungguhnya saksikanlah olehmu ya Rasulullah bahwa aku menshaqahkan isi kebunku untuknya} dan lain sebagainya seperti hadits-hadits yang shahih tentang shadaqah untuk mayyit dan bermanfaat bagi mayyit”.

Jawaban soal ke-1 dari fatwa no. 4669 yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua

ج1: تشرع الصدقة عن الميتين من المسلمين، وثبت شرعا أنها تنفعهم، وهذا هو مذهب أهل السنة، لكن ليس لها وقت معين، بل في أي وقت تصدق المسلم عن ميت مسلم نفعه ذلك، وإذا تصدق في أوقات الفضائل كرمضان وعشر ذي الحجة كان ذلك أفضل
Jawab : “disyariatkan shadaqah untuk orang-orang muslim yang mati, dan tela’h tsabit secara syariat bahwa itu bermanfaat bagi mereka, inilah madzhab Ahl Sunnah wal Jama’ah, tetapi tiada baginya waktu tertentu, sebaliknya kapan pun seorang muslim bershadaqah untuk mayyit yang muslim niscaya itu bermanfaat, dan apabila bershadaqah pada waktu-waktu yang utama seperti bulan Ramadhan dan 10 Dzulhijjah maka itu lebih utama”.

Sebuah jawaban dari fatwa no. 8975 yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua. Ini jawaban dari pertanyaan seseorang tentang shadaqah untuk anaknya yang wafat dan bulan apa yang utama untuk bershadaqah.

ج: إن صدقتك عن والدك المتوفى عمل طيب، وأفضل الشهور شهر رمضان، والعشر الأول من شهر ذي الحجة، لما ورد في ذلك من الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Jawaban : sungguh shadaqah anda untuk putra anda yang wafat merupakan amal yang bagus, dan bulan yang utama adalah bulan Ramadhan dan sepuluh pertama dari bulan Dzul Hijjah, telah warid tentang hal itu didalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam”.

dan masih banyak fatwa-fatwa lainnya yang menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa shadaqah.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan didalam Majmu’ Fatawa [1/375]:

، والصدقة عمل صالح ويصل ثوابها إلى من تتصدق عنه فلا بأس بذلك
“dan shadaqah merupakan amal shalih sedangkan menyampaikan pahalanya kepada orang yang dishadaqahkan maka tidak apa-apa dengan hal itu”.

AMAL DARI ORANG LAIN BERUPA TILAWAH (MEMBACA AL-QUR’AN)

Membaca al-Qur’an untuk orang mati maksudnya orang lain beramal dengan membaca al-Qur’an untuk orang mati agar orang mati bisa mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. Dalam masalah ini, diantara Ulama Wahhabiyah terdapat perselisihan, misalnya antara komisi fatwa Lajnah Daimah VERSUS Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Kebanyakan fatwa yang mudah dikeluarkan oleh komisi fatwa Wahhabiyah yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Daimah Lil-Buhuts al-‘Ilmiyah wa al-Iftaa di Arab Saudi tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :

PERNYATAAN DARI YANG TIDAK MENYETUJUI

Pertanyaan ke-12 dari fatwa no. 5005 yang terdiri dari Syaikh Abdullah Ghudayyan sebagai anggota dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua. Fatwa ini sepertinya di keluarkan tanpa ke ikut sertaan syaikh lainnya.

س12: هل يجوز قراءة سورة الفاتحة وسورة الإخلاص في مكان وسكن متوفى بعد ثلاثة أيام أم هي بدعة سيئة؟ ج12: لا نعلم دليلا لا من الكتاب ولا من السنة يدل على مشروعية قراءة سورة الفاتحة وسورة الإخلاص أو غيرهما في مكان أو سكن المتوفى بعد ثلاثة أيام، ولا نعلم أن أحدا من الصحابة أو التابعين أو تابعي التابعين نقل عنه ذلك، والأصل منعه؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: «من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد  » ومن ادعى مشروعيته فعليه الدليل.
“Soal : apakah boleh membaca surah al-Fatihah dan surah al-Ikhlas pada suatu tempat orang mati setelah tiga hari atau itu adalah bid’ah sayyi’ah ? Jawaban : “kami tidak mengetahui dalil baik didalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukkan disyariatkannya membaca surah al-Fatihah, al-Ikhlas dan surah lainnya pada sebuah tempat atau tempat orang matisetelah masa tiga hari, dan kami tidak mengetahui seorang pun dari sahabat, tabi’in, ataupun tabi’it tabi’in yang mengomentari hal tersebut, dan asalnya adalah mencegahnya (melarangnya), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atasnya perkara kami maka itu tertolak }, dan barangsiapa yang mendakwa disyariatkannya maka harus menunjukkan dalilnya”.

Jawaban dari pertanyaan ke-3 dari fatwa no. 2634  yang anggotanya Syaikh Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdur Razaq sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua.

ج3: أولا: إذا قرأ إنسان قرآنا ووهب ثوابه للميت فالصحيح أنه لا يصل إليه ثواب القراءة؛ لأنها ليست من عمله، وقد قال تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} (1) وإنما هي من عمل الحي، وثواب عمله له، ولا يملك أن يهب ثواب قراءة لغيره
“Jawaban : apabila seorang manusia membaca al-Qur’an dan memberikan pahalanya untuk orang mati, maka yang shahih sesungguhnya pahala bacaan al-Qur’an itu tidak sampai, karena bukan amalnya, dan sungguh Allah telah berfirman {dan sungguh tiada bagi manusia kecuali apa yang di usahakannya} sebab itu termasuk amal orang yang hidup dan pahala amalnya baginya, pahala bacaan al-Qur’annya tidak bisa dimiliki oleh orang lain”.

dan masih banyak fatwa-fatwa lainnya yang tidak menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lain berupa tilawah al-Qur'an.

Selain nama-nama diatas, ulama Wahhabiyah lainnya yang tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati adalah Syaikh Shalih al-Fauzan, beliau mengatakan didalam Majmu’ Fatawa[2/687] :

أما قراءة الفاتحة لروح الميت، فهذا لا أصل له في الشرع، ولم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما الوارد في الكتاب والسنة هو الدعاء للميت والاستغفار له، والصلاة على جنازته، وكذلك التصدق عنه، وغير ذلك من أنواع البر، كالحج عنه والعمرة عنه، فهذه الأمور تصل إلى الميت بإذن الله إذا تقبلها الله، وكذلك الأضحية يضحى عن الميت، كل هذه الأمور ورد الشرع بأنها ينتفع بها الميت
Adapun membaca al-Qur’an untuk roh orang mati, ini tidak ada asalnya pada sisi syariat dan tidak ada dalil yang warid tentang hal itu dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, sebaliknya yang warid didalam al-Kitab dan As-Sunnah adalah do’a untuk mayyit, istighfar untuk mayyit, shalat atas jenazahnya dan demikian juga dengan shadaqah darinya untuk mayyit, serta berbagai macam perkara kebaikan lainnya seperti haji dan umrah untuk mayyit. Maka ini merupakan perkara-perkara yang sampai kepada mayyit dengan idzin Allah apabila Allah menerimanya (mengabulkannya). Seperti itu juga dengan penyembelihan (berkorban) untuk mayyit, setiap perkara ini telah warid dalam syariat oleh karena itu bermanfaat bagi orang mati.”

Juga sebuah jawaban pada Majmu' Fatawa [2/688] :

الجواب: الفاتحة من أعظم سور القرآن، بل هي أم القرآن، ولها فضل عظيم، ولكن قراءتها في مثل هذه الحال بأن تقرأ في بعض الأحوال للنبي، أو لغيره، أو لروح فلان، أو لروح الميت، هذا من البدع، لأنه لم يرد به دليل عن النبي صلى الله عليه وسلم
Surah al-Fatihah termasuk paling agungnya surah al-Qur’an bahkan merupakan Ummul Qur’an serta memiliki fadliyah yang agung, akan tetapi membacanya untuk Nabi atau yang lainnya, atau untuk ruh Fulan atau untuk ruh orang mati, maka ini termasuk bid’ah, karena tidak warid tentang hal itu dalil dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Membaca al-Fatihah merupakan ibadah, ibadah harus ada dalilnya maka yang mengatakan disyariatkan membaca al-Fatihah untuk Nabi dan orang mati lainnya, ucapannya itu membutuhkan dalil maka apabila mendatangkan dalil (maka diterima) kecuali tidak, maka ucapan ini tertolak, karena itu bid’ah. dan tidak warid dalil syari’i tentang membaca al-Fatihah untuk ruh Nabi juga tidak untuk yang lainnya. Ini bagian dari bid’ah.

PERNYATAAN DARI YANG MENYETUJUI

Berbeda dari hal diatas, ulama Wahhabiyah lainnya justru mengatakan sebaliknya bahkan menguatkan pendapat yang berseberangan dengan ulama Wahhabiyah lainnya, beliau adalah Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin :

س 722 سئل فضيلة الشيخ رحمه الله تعالى: عن حكم التلاوة لروح الميت؟ فأجاب فضيلته بقوله: التلاوة لروح الميت يعني أن يقرأ القرآن وهو يريد أن يكون ثوابه لميت من المسلمين، هذه المسألة محل خلاف بين أهل العلم على قولين:
القول الأول: أن ذلك غير مشروع وأن الميت لا ينتفع به أي لا ينتفع بالقرآن في هذه الحال. القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان أو فلانة من المسلمين سواء كان قريباً أو غير قريب. والراجح القول الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت، كما في حديث سعد بن عبادة رضي الله عنه حين تصدَّق ببستانه لأمه، وكما في قصة الرجل الذي قال للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إن أمي أفتلتت نفسها وأظنها لو تكلمت لتصدقت أفأتصدق عنها؟ قال النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "نعم" وهذه قضايا أعيان تدل على أن صرف جنس العبادات لأحد من المسلمين جائز وهو كذلك، ولكن أفضل من هذا أن تدعو للميت، وتجعل الأعمال الصالحة لنفسك لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: "إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له". ولم يقل أو ولد صالح  يتلو له أو يصلي له أو يصوم له أو يتصدَّق عنه بل قال: "أو ولد صالح يدعو له" والسياق في سياق العمل، فدل ذلك على أن الأفضل أن يدعو الإنسان للميت، لا أن يجعل له شيئاً من الأعمال الصالحة، والإنسان محتاج إلى العمل الصالح، أن يجد ثوابه له مدخراً عند الله عز وجل
“Fadlilatusy Syaikh ditanya : tentang hukum tilawah (membaca al-Qur’an) untuk roh orang mati ?. Jawaban : Tilawah (membaca al-qur’an) untuk roh orang mati yakni membaca al-Qur’an karena ingin memberikan pahalanya untuk mayyit (orang mati) dari kaum muslimin, masalah ini terdapat perselisihan diantara ahlil imi atas dua pendapat : Pertama, sungguh itu bukan perkara yang masyru’ (tidak disyariatkan) dan sungguh mayyit tidak mendapat menfaat dengannya yakni tidak memberikan manfaat dengan pemabacaan al-Qur’an pada perkara ini.  Kedua, sesungguhnya mayyit mendapatkan manfaat dengan hal itu, dan sesungguhnya boleh bagi manusia untuk membaca al-Qur’an dengan niat pahalanya untuk fulan atau fulanah dari kaum muslimin, sama saja baik dekat atau tidak dekat (alias jauh). Dan yang rajih (yang kuat) : adalah qaul (pendapat) yang kedua karena sesungguhnya telah warid sebagai jenis ibadah yang boleh memindahkan pahalanya untuk mayyit, sebagaimana pada hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallahu ‘anh ketika ia menshadaqahkan kebunnya untuk ibunya, dan sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku dalam telah meninggal dunia, dan aku menduga seandainya ia sempat berbicara ia akan meminta untuk bershadaqah, maka bolehkah bershadaqah untuknya ? Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam menjawab : iya”, ini sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa memindahkan pahala jenis ibadah untuk salah seorang kaum Muslimin adalah boleh, dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an. Akan tetapi yang lebih utama dari perkara ini agar mereka berdo’a untuk mayyit, serta menjadikan amal-amal shalih untuk dirimu sendiri karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :  “Apabila bani Adam mati maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selali mendo’akannya”. Namun tidak dikatakan, anak shalih yang melakukan tilawah untuknya, atau shalat untuknya, atau puasa untuknya, atau shadaqah untuknya bahkan Nabi bersabda : “atau anak shalih yang berdo’a untuknya”,  Maka ini menunjukkan bahwa seorag manusia berdo’a untuk mayyit itu lebih utama (afdlal) dari pada menjadikan amal-amal shalihnya untuk mayyit, dan manusia membutuhkan amal shalih agar pahalanya menjadi simpanan disisi Allah ‘Azza wa Jalla.”

Lagi, dalam Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] :

وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأوينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
"pembacaan al-Qur'an untuk orang mati dengan makna bahwa manusia membaca dan meniatkan agar menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur'an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi yang lebih utama (afdlal) adalah do'a."

Begitulah pendapat dan perselisihan yang ada pada kelompok Wahhabiyah. Mereka menyetujui bahwa mayyit (orang mati) masih bisa mendapat manfaat dari pahala yang dihasilkan oleh amal orang lain. Namun, perselisihan diantara Wahhabiyah adalah terkait pembacaan al-Qur’an untuk orang mati.

Adapun yang rajih (pendapat yang lebih kuat) dan shahih tentang pembacaan al-Qur’an untuk orang mati menurut salah seorang ulama Wahhabiyah sendiri adalah bahwa orang mati bisa mendapatkan manfaat dari bacaan al-Qur’an yang ditujukan kepadanya. 

SERBA-SERBI ULAMA ALIRAN WAHHABIYAH

Ulama Wahhabiyah juga menyetujui bahwa mayyit bisa mendapatkan manfaat dari amal orang lainberupa shalat untuk mayyit, haji untuk mayyit, umrah untuk mayyit dan amal kebajikan lainnya. Selain yang sudah disebutkan diatas, salah satu nya juga adalah pertanyaan ke-1 dari fatwa no. 11623 Lajnah ad-Daimah yang anggotanya adalah Syaikh Abdullah bin Qu’ud,  Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi sebagai wakil ketua dan Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai sebagai ketua :

س1: لي أقارب ماتوا منذ زمن بعيد، ولم يورثوا شيئا، وليس لهم وارث، هل يجوز لي أن أحج لهم من حلالي؟ ج1:  يجوز لك الحج عن أقاربك الميتين إن كنت قد حججت عن نفسك
Soal : aku memiliki kerabat yang telah meninggal sejak lama, tidak mewarisi sesuatu apapun juag tidak memiliki ahli waris, apakah boleh aku berhaji untuknya ?. Jawaban : “boleh bagi anda berhaji untuk kerabat anda yang telah meninggal dunia

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif Ali asy-Syaikh [w. 1389 H]

Beliau adalah ulama Wahhabiyah yang merupakan keturunan (cucu) dari Muhammad bin Abdul Wahab. Didalam Fatawa wa Rasail [3/229], beliau tidak menyetujui pembacaan al-Qur’an untuk orang mati namun beliau menyetujui bahwa orang lain yang membaca al-Qur’an untuk orang yang menjelang mati adalah perkara masyru’ :

القراءة على الميت سواء كان في المسجد أو عند القبر أو في البيت ثم عمل طعام بعد الختمة وبعد الوفاة بثلاثة أيام يوزع على الفقراء من الأمور المبتدعة. وأما القراءة المشروعة فهي ما كان قبل الموت وعند الاحتضار كقراءة سورة "يس" أو " الفاتحة" أو " تبارك" أو غير ذلك من كتاب الله
Membaca al-Qur’an untuk mayyit sama saja baik di masjid, atau disamping kubur atau di rumah, kemudian membuat makanan setelah khataman dan setelah wafatnya mayyit selama 3 hari untuk dibagkikan kepada orang-orang faqir maka itu termasuk perkara bid’ah, adapun membaca al-Qur’an yang masyru’ adalah sebelum meninggal dunia dan disamping orang yang menjelang mati seperti membaca Yasiin atau surah al-Fatihah atau Tabarak atau surah-surah al-Qur’an lainnya

Namun terkait amal lainnya beliau mengatakan [3/230] :

أما صلاة النوافل وأهداء ثوابها إلى أقربائه، وكذلك ذبح الذبيحة والصدقة بها وإهداء ثوابها إليهم: فلا بأس بذلك إن شاء الله
Adapun shalat sunnah dan menghadiahkan pahalanya kepada kerabat-kerabatnya (yang mati) serta demikian juga menyembelih sembelihan dan menshadaqahkannya dan menghadiahkan pahalanya kepada mereka : maka tidak apa-apa dengan hal itu, InsyaAllah.

Demikian hal-hal yang sementara kami bisa sampaikan, semoga bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi kita semua. []