Sabtu, 27 April 2013

kewajiban org hidup terhadap org mati menurut kitab sapinah



Safinatun Najaah merupakan kitab fiqh dasar yang diperuntukkan bagi pemula dalam mempelajari madzhab Syafi'i. Kitab ini dikarang oleh seorang ulama syafi'iyah yang bernama Syaikh al-'Alim al-Fadlil Salim bin Samiir al-Hadlramii. Kitab ini sangat masyhur tidak hanya dikalangan santri pemula namun juga di masyarakat awam sekalipun, hampir bisa di katakan tidak ada yang bermadzhab Syafi'i yang tidak mengenal kitab ini. Berikut beberapa hal yang tercantum terkait dengan pengurusan Jenazah atau orang mati :

 فصل : الذي يلزم للميت أربع خصال : غسلة وتكفينة والصلاة علية ودفنه
Sebuah Pasal : Kewajiban orang-orang yang hidup kepada orang mati ada 4 hal :
1. Memandikan
2. Mengkafani
3. Menshalati
4. Menguburkan

فصل : أقل الغسل : تعميم بدنه بالماء. وأكمله أن يغسل سوأتيه وأن يزيل القذر من أنفه وأن يوضئه وأن يدلك بدنه بالسدر وأن يصب الماء عليه ثلاثا
Sebuah Pasal : memandikan jenazah yang secukupnya yakni meratakan seluruh badan jenazah dengan air. Sedangkan memandikan jenazah yang sempurna adalah qubul dan dubur harus dibersihkan, kotoran dari hidung harus di hilangkan, mewudlu’kan mayyit, memandikan dengan daun bidara dan disiram dengan air 3 kali.

 فصل : أقل الكفن  : ثوب يعمه.، وأكمله للرجال ثلاث لفائف ، وللمرأة قميص وخمار وإزار ولفافتان
Sebuah Pasal : Paling sedikitnya mengkafani adalah satu pakaian yang mencukupi. Adapun bagi laki-laki yang sempurna adalah 3 lapis kain, dan untuk perempuan adalah baju kurung dan dua lapis pakaian.

فصل : أركان صلاة الجنازة سبعة :الأول النية ،الثاني أربع تكبيرات ، الثالث القيام على القادر ، الرابع قراءة الفاتحة ،الخامس الصلاة على النبي صلى الله علية وسلم بعد الثانية،السادس الدعاء للميت بعد الثالثة ،السابع السلام
Sebuah Pasal : Rukun shalat jenazah ada 7 :
1. Niat
2. Empat kali takbir
3. Berdiri bagi yang mampu
4. Membaca surah al-Fatihah
5. Membaca shalawat setelah takbir kedua
6. Membaca do’a bagi mayyit setelah takbir ketiga
7. Mengucapkan salam

فصل  : أقل الدفن  : حفرة تكتم رائحته وتحرسه من السباع .وأكمله قامة وبسطة، ويوضع خده على التراب ويجب توجيهه إلى القبلة
Sebuah Pasal : Paling sedikitnya mengubur jenazah : cukup dengan lubang yang bisa mencegah bau mayyit dan dapat melindunginya dari serbuan binatang buas. Sedangkan yang paling sempurna adalah bagian sedalam ukuran manusia sedangkan ditambah acungan tangan keatas . Kemudian pipi si mayyit diletakkan di tanah dan wajid dihadapkan kearah kiblat.

فصل :  ينبش الميت لأربع خصال : للغسل إذا لم يتغير ولتوجيهه إلى القبلة وللمال إذا دفن معه ،  والمرأة إذا دفن جنينها وأمكنت حياته
Sebuah Pasal : Pembongkaran (makam) mayyit diperbolehkan karena 4 sebab :
1. Untuk dimandikan jika jasadnya belum berubah (hancur)
2. Untuk dihadapkan kearah kiblat
3. Untuk mengambil harta yang tertanam bersama mayyit
4.Untuk menyelamatkan kandungan yang dikubur bersama mayyit bila ada kemungkinan janin masih hidup.

Wallahu A'lam. []

Sabtu, 20 April 2013

Bukti Ketinggian Ilmu Ali bin Abi Thalib RA (“Pintunya Ilmu”)

Bukti Ketinggian Ilmu Ali bin Abi
Thalib RA (“Pintunya Ilmu”)
Saudaraku sekalian, dalam
kesempatan kali ini saya akan
mengajak Anda untuk kembali
mengulik sejarah orang-orang
shalih terdahulu. Ini bertujuan
agar kita bisa mengambil banyak
pelajaran dan ilmunya. Dan untuk
pembahasan kali ini, maka kita
akan lebih jauh mengenali sosok
Imam Ali bin Abi Thalib RA.
Seorang sahabat terdekat
sekaligus menantu Rasulullah
Muhammad SAW. Tentang betapa
luas dan tingginya ilmu yang
beliau miliki. Juga mengenai
kecerdasan dan daya ingatnya
terhadap informasi dan
pengetahuan dari Rasulullah SAW
dan tentunya Allah SWT.
Nah, untuk mempersingkat
waktu, mari ikuti penelurusan
berikut ini:
Di kala Umar bin Khaththab RA
memangku jabatan sebagai
Amirul Mukminin, pernah datang
kepadanya beberapa orang
pendeta Yahudi. Mereka berkata
kepada Khalifah: “Hai Khalifah
Umar, Anda adalah pemegang
kekuasaan sesudah Muhammad
dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami
hendak menanyakan beberapa
masalah penting kepada Anda.
Jika Anda dapat memberi
jawaban kepada kami, barulah
kami mau mengerti bahwa Islam
merupakan agama yang benar
dan Muhammad benar-benar
seorang Nabi. Sebaliknya, jika
anda tidak dapat memberi
jawaban, berarti bahwa agama
Islam itu bathil dan Muhammad
bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa
saja yang kalian inginkan,” sahut
Khalifah Umar RA.
“Jelaskan kepada kami tentang
induk kunci (gembok)
mengancing langit, apakah itu?”
Tanya pendeta-pendeta itu,
memulai pertanyaan-
pertanyaannya. “Terangkan
kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang berjalan
bersama penghuninya, apakah
itu? Tunjukkan kepada kami
tentang suatu makhluk yang
dapat memberi peringatan
kepada bangsanya, tetapi ia
bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang
lima jenis makhluk yang dapat
berjalan di permukaan bumi,
tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu
atau atau induknya! Beritahukan
kepada kami apa yang dikatakan
oleh burung puyuh (gemak) di
saat ia sedang berkicau! Apakah
yang dikatakan oleh ayam jantan
di kala ia sedang berkokok!
Apakah yang dikatakan oleh
kuda di saat ia sedang
meringkik? Apakah yang
dikatakan oleh katak di waktu ia
sedang bersuara? Apakah yang
dikatakan oleh keledai di saat ia
sedang meringkik? Apakah yang
dikatakan oleh burung pipit pada
waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar RA menundukkan
kepala untuk berfikir sejenak,
kemudian berkata: “Bagi Umar,
jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas
pertanyaan-pertanyaan yang
memang tidak diketahui
jawabannya, itu bukan suatu hal
yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah
Umar seperti itu, pendeta-
pendeta Yahudi yang bertanya
berdiri melonjak-lonjak
kegirangan, sambil berkata:
“Sekarang kami bersaksi bahwa
Muhammad memang bukan
seorang Nabi, dan agama Islam
itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi RA yang saat itu
hadir, segera bangkit dan
berkata kepada pendeta-pendeta
Yahudi itu: “Kalian tunggu
sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali
bin Abi Thalib RA. Setelah
bertemu, Salman berkata: “Ya
Abul Hasan, selamatkanlah
agama Islam!”
Imam Ali RA bingung, lalu
bertanya: “Mengapa?”
Salman RA kemudian
menceritakan apa yang sedang
dihadapi oleh Khalifah Umar
Ibnul Khattab. Imam Ali segera
saja berangkat menuju ke rumah
Khalifah Umar RA, berjalan
lenggang memakai burdah
(selembar kain penutup
punggung atau leher)
peninggalan Rasulullah SAW.
Ketika Umar melihat Ali bin Abi
Thalib RA datang, ia bangun dari
tempat duduk lalu buru-buru
memeluknya, sambil berkata: “Ya
Abul Hasan, tiap ada kesulitan
besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan
dengan para pendeta yang
sedang menunggu-nunggu
jawaban itu, Ali bin Abi Thalib RA
herkata: “Silakan kalian bertanya
tentang apa saja yang kalian
inginkan. Rasulullah SAW. sudah
mengajarku seribu macam ilmu,
dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu
mempunyai seribu macam
cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu
mengulangi pertanyaan-
pertanyaan mereka. Sebelum
menjawab, Ali bin Abi Thalib RA
berkata: “Aku ingin mengajukan
suatu syarat kepada kalian, yaitu
jika ternyata aku nanti sudah
menjawab pertanyaan-
pertanyaan kalian sesuai dengan
yang ada di dalam Taurat, kalian
supaya bersedia memeluk agama
kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi
satu,” kata Ali bin Abi Thalib RA.
Mereka mulai bertanya: “Apakah
induk kunci (gembok) yang
mengancing pintu-pintu langit?”
Jawab Imam Ali RA: “Induk kunci
itu ialah syirik kepada Allah.
Sebab semua hamba Allah, baik
pria maupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya
tidak akan dapat naik sampai ke
hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya
lagi: “Anak kunci apakah yang
dapat membuka pintu-pintu
langit?”
Ali bin Abi Thalib RA menjawab:
“Anak kunci itu ialah kesaksian
(syahadat) bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad
adalah Rasulullah!”
Para pendeta Yahudi itu saling
pandang di antara mereka,
sambil berkata: “Orang itu benar
juga!” Mereka bertanya lebih
lanjut: “Terangkanlah kepada
kami tentang adanya sebuah
kuburan yang dapat berjalan
bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut)
yang menelan Nabi Yunus AS
putera Matta. Nabi Yunus AS
dibawa keliling ketujuh
samudera!” jawab Ali bin Abi
Thalib RA.
Pendeta-pendeta itu meneruskan
pertanyaannya lagi: “Jelaskan
kepada kami tentang makhluk
yang dapat memberi peringatan
kepada bangsanya, tetapi
makhluk itu bukan manusia dan
bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib RA menjawab:
“Makhluk itu ialah semut Nabi
Sulaiman putera Nabi Dawud
alaihimas salam. Semut itu
berkata kepada kaumnya: “Hai
para semut, masuklah ke dalam
tempat kediaman kalian, agar
tidak diinjak-injak oleh Sulaiman
dan pasukan-nya dalam keadaan
mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu
meneruskan pertanyaannya:
“Beritahukan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang
berjalan di atas permukaan bumi,
tetapi tidak satu pun di antara
makhluk-makhluk itu yang
dilahirkan dari kandungan
ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab:
“Lima makhluk itu ialah, pertama,
Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta
Nabi Shaleh. Keempat, Domba
Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat
Nabi Musa (yang menjelma
menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta
Yahudi itu setelah mendengar
jawaban-jawaban serta
penjelasan yang diberikan oleh
Imam Ali RA lalu mengatakan:
“Kami bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya,
bangun berdiri sambil berkata
kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali,
hati teman-temanku sudah
dihinggapi oleh sesuatu yang
sama seperti iman dan keyakinan
mengenai benarnya agama
Islam. Sekarang masih ada satu
hal lagi yang ingin kutanyakan
kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau
inginkan,” sahut Imam Ali RA.
“Coba terangkan kepadaku
tentang sejumlah orang yang
pada zaman dahulu sudah mati
selama 309 tahun, kemudian
dihidupkan kembali oleh Allah.
Bagaimana hikayat tentang
mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib RA menjawab:
“Hai pendeta Yahudi, mereka itu
ialah para penghuni gua. Hikayat
tentang mereka itu sudah
dikisahkan oleh Allah SWT
kepada Rasul-Nya. Jika engkau
mau, akan kubacakan kisah
mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut:
“Aku sudah banyak mendengar
tentang Qur’an kalian itu! Jika
engkau memang benar-benar
tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka,
nama kota mereka, nama raja
mereka, nama anjing mereka,
nama gunung serta gua mereka,
dan semua kisah mereka dari
awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian
membetulkan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut,
lalu ditopangnya dengan burdah
yang diikatkan ke pinggang. Lalu
ia berkata: “Hai saudara Yahudi,
Muhammad Rasulullah SAW
kekasihku telah menceritakan
kepadaku, bahwa kisah itu
terjadi di negeri Romawi, di
sebuah kota bernama Aphesus,
atau disebut juga dengan nama
Tharsus. Tetapi nama kota itu
pada zaman dahulu ialah
Aphesus (Ephese). Baru setelah
Islam datang, kota itu berubah
nama menjadi Tharsus (Tarse,
sekarang terletak di dalam
wilayah Turki). Penduduk negeri
itu dahulunya mempunyai
seorang raja yang baik. Setelah
raja itu meninggal dunia, berita
kematiannya didengar oleh
seorang raja Persia bernama
Diqyanius. Ia seorang raja kafir
yang amat congkak dan dzalim.
Ia datang menyerbu negeri itu
dengan kekuatan pasukannya,
dan akhirnya berhasil menguasai
kota Aphesus. Olehnya kota itu
dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta
Yahudi yang bertanya itu berdiri,
terus bertanya: “Jika engkau
benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku bentuk
Istana itu, bagaimana serambi
dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan:
“Hai saudara Yahudi, raja itu
membangun istana yang sangat
megah, terbuat dari batu
marmar. Panjangnya satu farsakh
(sekitar 8 km) dan lebarnya pun
satu farsakh. Pilar-pilarnya yang
berjumlah seribu buah,
semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah
seribu buah, juga semuanya
terbuat dari emas. Lampu-lampu
itu bergelantungan pada rantai-
rantai yang terbuat dari perak.
Tiap malam apinya dinyalakan
dengan sejenis minyak yang
harum baunya. Di sebelah timur
serambi dibuat lubang-lubang
cahaya sebanyak seratus buah,
demikian pula di sebelah
baratnya. Sehingga matahari
sejak mulai terbit sampai
terbenam selalu dapat
menerangi serambi. Raja itu pun
membuat sebuah singgasana
dari emas. Panjangnya 80 hasta
dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah
kanannya tersedia 80 buah kursi,
semuanya terbuat dari emas. Di
situlah para hulubalang kerajaan
duduk. Di sebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat
dari emas, untuk duduk para
pepatih dan penguasa-penguasa
tinggi lainnya. Raja duduk di atas
singgasana dengan mengenakan
mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang
bersangkutan berdiri lagi sambil
berkata: “Jika engkau benar-
benar tahu, coba terangkan
kepadaku dari apakah mahkota
itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam
Ali menerangkan, “mahkota raja
itu terbuat dari kepingan-
kepingan emas, berkaki 9 buah,
dan tiap kakinya bertaburan
mutiara yang memantulkan
cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50
orang pelayan, terdiri dari anak-
anak para hulubalang. Semuanya
memakai selempang dan baju
sutera berwarna merah. Celana
mereka juga terbuat dari sutera
berwarna hijau. Semuanya dihias
dengan gelang-gelang kaki yang
sangat indah. Masing-masing
diberi tongkat terbuat dari emas.
Mereka harus berdiri di belakang
raja. Selain mereka, raja juga
mengangkat 6 orang, terdiri dari
anak-anak para cendekiawan,
untuk dijadikan menteri-menteri
atau pembantu-pembantunya.
Raja tidak mengambil suatu
keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan
mereka. Enam orang pembantu
itu selalu berada di kanan kiri
raja, tiga orang berdiri di sebelah
kanan dan yang tiga orang
lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri
lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika
yang kau katakan itu benar, coba
sebutkan nama enam orang
yang menjadi pembantu-
pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali RA
menjawab: “Kekasihku
Muhammad Rasulullah SAW
menceritakan kepadaku, bahwa
tiga orang yang berdiri di
sebelah kanan raja, masing-
masing bernama Tamlikha,
Miksalmina, dan Mikhaslimina.
Adapun tiga orang pembantu
yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama
Martelius, Casitius dan Sidemius.
Raja selalu berunding dengan
mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk
dalam serambi istana dikerumuni
oleh semua hulubalang dan para
punggawa, masuklah tiga orang
pelayan menghadap raja.
Seorang diantaranya membawa
piala emas penuh berisi
wewangian murni. Seorang lagi
membawa piala perak penuh
berisi air sari bunga. Sedang
yang seorangnya lagi membawa
seekor burung. Orang yang
membawa burung ini kemudian
mengeluarkan suara isyarat, lalu
burung itu terbang di atas piala
yang berisi air sari bunga.
Burung itu berkecimpung di
dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta
bulunya, sampai sari-bunga itu
habis dipercikkan ke semua
tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung
tadi mengeluarkan suara isyarat
lagi. Burung itu terbang pula.
Lalu hinggap di atas piala yang
berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung di dalamnya,
burung itu mengibas-ngibaskan
sayap dan bulunya, sampai
wewangian murni yang ada
dalam piala itu habis dipercikkan
ke tempat sekitarnya. Pembawa
burung itu memberi isyarat
suara lagi. Burung itu lalu
terbang dan hinggap di atas
mahkota raja, sambil
membentangkan kedua sayap
yang harum semerbak di atas
kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di
atas singgasana kekuasaan
selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang
penyakit apa pun, tidak pernah
merasa pusing kepala, sakit
perut, demam, berliur, berludah
atau pun beringus. Setelah sang
raja merasa diri sedemikian kuat
dan sehat, ia mulai congkak,
durhaka dan dzalim. Ia mengaku-
aku diri sebagai “tuhan” dan
tidak mau lagi mengakui adanya
Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil
orang-orang terkemuka dari
rakyatnya. Barang siapa yang
taat dan patuh kepadanya, diberi
pakaian dan berbagai macam
hadiah lainnya. Tetapi barang
siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti
kemauannya, ia akan segera
dibunuh. Oleh sebab itu semua
orang terpaksa mengiakan
kemauannya. Dalam masa yang
cukup lama, semua orang patuh
kepada raja itu, sampai ia
disembah dan dipuja. Mereka
tidak lagi memuja dan
menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-
tahunnya, raja sedang duduk di
atas singgasana mengenakan
mahkota di atas kepala, tiba-tiba
masuklah seorang hulubalang
memberi tahu, bahwa ada
balatentara asing masuk
menyerbu ke dalam wilayah
kerajaannya, dengan maksud
hendak melancarkan
peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya
raja itu, sampai tanpa disadari
mahkota yang sedang
dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas
singgasana. Salah seorang
pembantu yang berdiri di
sebelah kanan – seorang cerdas
yang bernama Tamlikha –
memperhatikan keadaan sang
raja dengan sepenuh fikiran. Ia
berfikir, lalu berkata di dalam
hati: “Kalau Diqyanius itu benar-
benar tuhan sebagaimana
menurut pengakuannya, tentu ia
tidak akan sedih, tidak tidur,
tidak buang air kecil atau pun air
besar. Itu semua bukanlah sifat-
sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu
tiap hari selalu mengadakan
pertemuan di tempat salah
seorang dari mereka secara
bergiliran. Pada satu hari tibalah
giliran Tamlikha menerima
kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah
Tamlikha untuk makan dan
minum, tetapi Tamlikha sendiri
tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya: “Hai
Tamlikha, mengapa engkau tidak
mau makan dan tidak mau
minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha,
“hatiku sedang dirisaukan oleh
sesuatu yang membuatku tidak
ingin makan dan tidak ingin
minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar:
“Apakah yang merisaukan
hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan
soal langit,” ujar Tamlikha
menjelaskan. “Aku lalu bertanya
pada diriku sendiri: ‘siapakah
yang mengangkatnya ke atas
sebagai atap yang senantiasa
aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa
tiang yang menopangnya dari
bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan
di langit itu? Siapakah yang
menghias langit itu dengan
bintang-bintang bertaburan?’
Kemudian kupikirkan juga bumi
ini: ‘Siapakah yang membentang
dan menghamparkan-nya di
cakrawala? Siapakah yang
menahannya dengan gunung-
gunung raksasa agar tidak
goyah, tidak goncang dan tidak
miring?’ Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri:
‘Siapakah yang mengeluarkan
aku sebagai bayi dari perut
ibuku? Siapakah yang
memelihara hidupku dan
memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang
membuat, dan sudah tentu
bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu
bertekuk lutut di hadapannya.
Dua kaki Tamlikha diciumi sambil
berkata: “Hai
Tamlikha dalam hati kami
sekarang terasa sesuatu seperti
yang ada di dalam hatimu. Oleh
karena itu, baiklah engkau
tunjukkan jalan keluar bagi kita
semua!”
“Saudara-saudara,” jawab
Tamlikha, “baik aku maupun
kalian tidak menemukan akal
selain harus lari meninggalkan
raja yang dzalim itu, pergi
kepada Raja pencipta langit dan
bumi!”
“Kami setuju dengan
pendapatmu,” sahut teman-
temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus
beranjak pergi untuk menjual
buah kurma, dan akhirnya
berhasil mendapat uang
sebanyak 3 dirham. Uang itu
kemudian diselipkan dalam
kantong baju. Lalu berangkat
berkendaraan kuda bersama-
sama dengan lima orang
temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya
dari kota, Tamlikha berkata
kepada teman-temannya:
“Saudara-saudara, kita sekarang
sudah terlepas dari raja dunia
dan dari kekuasaannya. Sekarang
turunlah kalian dari kuda dan
marilah kita berjalan kaki.
Mudah-mudahan Allah akan
memudahkan urusan kita serta
memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya
masing-masing. Lalu berjalan
kaki sejauh 7 farsakh, sampai
kaki mereka bengkak berdarah
karena tidak biasa berjalan kaki
sejauh itu. Tiba-tiba datanglah
seorang penggembala
menyambut mereka. Kepada
penggembala itu mereka
bertanya: “Hai penggembala,
apakah engkau mempunyai air
minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang
kalian inginkan,” sahut
penggembala itu. “Tetapi kulihat
wajah kalian semuanya seperti
kaum bangsawan. Aku menduga
kalian itu pasti melarikan diri.
Coba beritahukan kepadaku
bagaimana cerita perjalanan
kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,”
jawab mereka. “Kami sudah
memeluk suatu agama, kami
tidak boleh berdusta. Apakah
kami akan selamat jika kami
mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya
lalu menceritakan semua yang
terjadi pada diri mereka.
Mendengar cerita mereka,
penggembala itu segera
bertekuk lutut di depan mereka,
dan sambil menciumi kaki
mereka, ia berkata: “Dalam
hatiku sekarang terasa sesuatu
seperti yang ada dalam hati
kalian. Kalian berhenti sajalah
dahulu di sini. Aku hendak
mengembalikan kambing-
kambing itu kepada pemiliknya.
Nanti aku akan segera kembali
lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-
temannya berhenti. Penggembala
itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-
kambing gembalaannya. Tak
lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor
anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di
situ, pendeta Yahudi yang
bertanya melonjak berdiri lagi
sambil berkata: “Hai Ali, jika
engkau benar-benar tahu, coba
sebutkan apakah warna anjing
itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin
Abi Thalib RA memberitahukan,
“kekasihku Muhammad Rasul
Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu
berwarna kehitam-hitaman dan
bernama Qithmir. Ketika enam
orang pelarian itu melihat seekor
anjing, masing-masing saling
berkata kepada temannya: kita
khawatir kalau-kalau anjing itu
nantinya akan membongkar
rahasia kita! Mereka minta
kepada penggembala supaya
anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu melihat kepada
Tamlikha dan teman-temannya,
lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan
lancar dan jelas sekali: “Hai
orang-orang, mengapa kalian
hendak mengusirku, padahal aku
ini bersaksi tiada tuhan selain
Allah, tak ada sekutu apa pun
bagi-Nya. Biarlah aku menjaga
kalian dari musuh, dan dengan
berbuat demikian aku
mendekatkan diriku kepada Allah
SWT.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan
saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak
mereka naik ke sebuah bukit.
Lalu bersama mereka mendekati
sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang
menanyakan kisah itu, bangun
lagi dari tempat duduknya sambil
berkata: “Apakah nama gunung
itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali RA menjelaskan:
“Gunung itu bernama Naglus dan
nama gua itu ialah Washid, atau
di sebut juga dengan nama
Kheram!”
Ali bin Abi Thalib RA meneruskan
ceritanya: secara tiba-tiba di
depan gua itu tumbuh
pepohonan berbuah dan
memancur mata-air deras sekali.
Mereka makan buah-buahan dan
minum air yang tersedia di
tempat itu. Setelah tiba waktu
malam, mereka masuk
berlindung di dalam gua. Sedang
anjing yang sejak tadi mengikuti
mereka, berjaga-jaga ndeprok
sambil menjulurkan dua kaki
depan untuk menghalang-
halangi pintu gua. Kemudian
Allah SWT memerintahkan
Malaikat maut supaya mencabut
nyawa mereka. Kepada masing-
masing orang dari mereka Allah
SWT mewakilkan dua Malaikat
untuk membalik-balik tubuh
mereka dari kanan ke kiri. Allah
lalu memerintahkan matahari
supaya pada saat terbit condong
memancarkan sinarnya ke dalam
gua dari arah kanan, dan pada
saat hampir terbenam supaya
sinarnya mulai meninggalkan
mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja
Diqyanius baru saja selesai
berpesta ia bertanya tentang
enam orang pembantunya. Ia
mendapat jawaban, bahwa
mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama
80.000 pasukan berkuda ia
cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia
naik ke atas bukit, kemudian
mendekati gua. Ia melihat enam
orang pembantunya yang
melarikan diri itu sedang tidur
berbaring di dalam gua. Ia tidak
ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-
benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia
berkata: “Kalau aku hendak
menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih
berat dari perbuatan mereka
yang telah menyiksa diri mereka
sendiri di dalam gua. Panggillah
tukang-tukang batu supaya
mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu
tiba, mereka diperintahkan
menutup rapat pintu gua dengan
batu-batu dan jish (bahan
semacam semen). Selesai
dikerjakan, raja berkata kepada
para pengikutnya: “Katakanlah
kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar
mereka itu tidak berdusta supaya
minta tolong kepada Tuhan
mereka yang ada di langit, agar
mereka dikeluarkan dari tempat
itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu,
mereka tinggal selama 309
tahun. Setelah masa yang amat
panjang itu lampau, Allah s.w.t.
mengembalikan lagi nyawa
mereka. Pada saat matahari
sudah mulai memancarkan sinar,
mereka merasa seakan-akan
baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang
berkata kepada yang lainnya:
“Malam tadi kami lupa beribadah
kepada Allah, mari kita pergi ke
mata air!”
Setelah mereka berada di luar
gua, tiba-tiba mereka lihat mata
air itu sudah mengering kembali
dan pepohonan yang ada pun
sudah menjadi kering semuanya.
Allah SWT membuat mereka
mulai merasa lapar. Mereka
saling bertanya: “Siapakah di
antara kita ini yang sanggup dan
bersedia berangkat ke kota
membawa uang untuk bisa
mendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti
supaya hati-hati benar, jangan
sampai membeli makanan yang
dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai
saudara-saudara, aku sajalah
yang berangkat untuk
mendapatkan makanan. Tetapi,
hai penggembala, berikanlah
bajumu kepadaku dan ambillah
bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju
penggembala, ia berangkat
menuju ke kota. Sepanjang jalan
ia melewati tempat-tempat yang
sama sekali belum pernah
dikenalnya, melalui jalan-jalan
yang belum pernah diketahui.
Setibanya dekat pintu gerbang
kota, ia melihat bendera hijau
berkibar di angkasa bertuliskan:
“Tiada Tuhan selain Allah dan Isa
adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak
memandang bendera itu sambil
mengusap-usap mata, lalu
berkata seorang diri: “Kusangka
aku ini masih tidur!” Setelah
agak lama memandang dan
mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan
memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca
Injil. Ia berpapasan dengan
orang-orang yang belum pernah
dikenal. Setibanya di sebuah
pasar ia bertanya kepada
seorang penjaja roti: “Hai tukang
roti, apakah nama kota kalian
ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?”
tanya Tamlikha lagi.
“Abdurrahman,” jawab penjual
roti.
“Kalau yang kau katakan itu
benar,” kata Tamlikha, “urusanku
ini sungguh aneh sekali!
Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti
keheran-heranan. Karena uang
yang dibawa Tamlikha itu uang
zaman lampau, yang ukurannya
lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya
itu kemudian berdiri lagi, lalu
berkata kepada Ali bin Abi Thalib
RA: “Hai Ali, kalau benar-benar
engkau mengetahui, coba
terangkan kepadaku berapa nilai
uang lama itu dibanding dengan
uang baru!”
Imam Ali RA menerangkan:
“Kekasihku Muhammad
Rasulullah SAW menceritakan
kepadaku, bahwa uang yang
dibawa oleh Tamlikha dibanding
dengan uang baru, ialah tiap
dirham lama sama dengan
sepuluh dan dua pertiga dirham
baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan
ceritanya: Penjual Roti lalu
berkata kepada Tamlikha:
“Aduhai, alangkah beruntungnya
aku! Rupanya engkau baru
menemukan harta karun!
Berikan sisa uang itu kepadaku!
Kalau tidak, engkau akan ku
hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta
karun,” sangkal Tamlikha. “Uang
ini ku dapat tiga hari yang lalu
dari hasil penjualan buah kurma
seharga tiga dirham! Aku
kemudian meninggalkan kota
karena orang-orang semuanya
menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu
berkata: “Apakah setelah engkau
menemukan harta karun masih
juga tidak rela menyerahkan sisa
uangmu itu kepadaku? Lagi pula
engkau telah menyebut-nyebut
seorang raja durhaka yang
mengaku diri sebagai tuhan,
padahal raja itu sudah mati lebih
dari 300 tahun yang silam!
Apakah dengan begitu engkau
hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap.
Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru
ini seorang yang dapat berfikir
dan bersikap adil. Raja bertanya
kepada orang-orang yang
membawa Tamlikha: “Bagaimana
cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,”
jawab orang-orang yang
membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata:
“Engkau tak perlu takut! Nabi Isa
AS memerintahkan supaya kami
hanya memungut seperlima saja
dari harta karun itu. Serahkanlah
yang seperlima itu kepadaku,
dan selanjutnya engkau akan
selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda,
aku sama sekali tidak
menemukan harta karun! Aku
adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-
heranan: “Engkau penduduk
kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?”
tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,”
perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama
kurang lebih 1000 orang, tetapi
tak ada satu nama pun yang
dikenal oleh raja atau oleh orang
lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata: “Ah…, semua itu
bukan nama orang-orang yang
hidup di zaman kita sekarang.
Tetapi, apakah engkau
mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha.
“Utuslah seorang menyertai
aku!”
Raja kemudian memerintahkan
beberapa orang menyertai
Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha
mereka diajak menuju ke sebuah
rumah yang paling tinggi di kota
itu. Setibanya di sana, Tamlikha
berkata kepada orang yang
mengantarkan: “Inilah
rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk.
Keluarlah seorang lelaki yang
sudah sangat lanjut usia.
Sepasang alis di bawah
keningnya sudah sedemikian
putih dan mengkerut hampir
menutupi mata karena sudah
terlampau tua. Ia terperanjat
ketakutan, lalu bertanya kepada
orang-orang yang datang:
“Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai
Tamlikha menyahut: “Orang
muda ini mengaku rumah ini
adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah,
memandang kepada Tamlikha.
Sambil mengamat-amati ia
bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba
ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi
namanya. Tiba-tiba orang tua itu
bertekuk lutut di depan kaki
Tamlikha sambil berucap: “Ini
adalah datukku! Demi Allah, ia
salah seorang di antara orang-
orang yang melarikan diri dari
Diqyanius, raja durhaka.”
Kemudian diteruskannya dengan
suara haru: “Ia lari berlindung
kepada Yang Maha Perkasa,
Pencipta langit dan bumi. Nabi
kita, Isa as., dahulu telah
memberitahukan kisah mereka
kepada kita dan mengatakan
bahwa mereka itu akan hidup
kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah
orang tua itu kemudian di
laporkan kepada raja. Dengan
menunggang kuda, raja segera
datang menuju ke tempat
Tamlikha yang sedang berada di
rumah orang tua tadi. Setelah
melihat Tamlikha, raja segera
turun dari kuda. Oleh raja
Tamlikha diangkat ke atas
pundak, sedangkan orang
banyak beramai-ramai menciumi
tangan dan kaki Tamlikha sambil
bertanya-tanya: “Hai Tamlikha,
bagaimana keadaan teman-
temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha
memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam
gua.
“Pada masa itu kota Aphesus
diurus oleh dua orang
bangsawan istana. Seorang
beragama Islam dan seorang
lainnya lagi beragama Nasrani.
Dua orang bangsawan itu
bersama pengikutnya masing-
masing pergi membawa
Tamlikha menuju ke gua,”
demikian Imam Ali RA
melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha
semuanya masih berada di dalam
gua itu. Setibanya dekat gua,
Tamlikha berkata kepada dua
orang bangsawan dan para
pengikut mereka: “Aku khawatir
kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda,
atau gemerincingnya senjata.
Mereka pasti menduga Diqyanius
datang dan mereka bakal mati
semua. Oleh karena itu kalian
berhenti saja di sini. Biarlah aku
sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan
Tamlikha masuk seorang diri ke
dalam gua. Melihat Tamlikha
datang, teman-temannya berdiri
kegirangan, dan Tamlikha
dipeluknya kuat-kuat. Kepada
Tamlikha mereka berkata: “Puji
dan syukur bagi Allah yang telah
menyelamatkan dirimu dari
Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan
apa dengan Diqyanius? Tahukah
kalian, sudah berapa lamakah
kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau
beberapa hari saja,” jawab
mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha.
“Kalian sudah tinggal di sini
selama 309 tahun! Diqyanius
sudah lama meninggal dunia!
Generasi demi generasi sudah
lewat silih berganti, dan
penduduk kota itu sudah
beriman kepada Allah yang Maha
Agung! Mereka sekarang datang
untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha
menyahut: “Hai Tamlikha, apakah
engkau hendak menjadikan kami
ini orang-orang yang
menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian
inginkan?” Tamlikha balik
bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas
dan kami pun akan berbuat
seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua
mengangkat tangan ke atas,
kemudian berdoa: “Ya Allah,
dengan kebenaran yang telah
Kau perlihatkan kepada kami
tentang keanehan-keanehan
yang kami alami sekarang ini,
cabutlah kembali nyawa kami
tanpa sepengetahuan orang
lain!”
Allah SWT mengabulkan
permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut
mencabut kembali nyawa
mereka. Kemudian Allah SWT
melenyapkan pintu gua tanpa
bekas. Dua orang bangsawan
yang menunggu-nunggu segera
maju mendekati gua, berputar-
putar selama tujuh hari untuk
mencari-cari pintunya, tetapi
tanpa hasil. Tak dapat ditemukan
lubang atau jalan masuk lainnya
ke dalam gua. Pada saat itu dua
orang bangsawan tadi menjadi
yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Allah SWT Dua orang
bangsawan itu memandang
semua peristiwa yang dialami
oleh para penghuni gua, sebagai
peringatan yang diperlihatkan
Allah kepada mereka.
Foto: Gua Ashabul Kahfi
Bangsawan yang beragama
Islam lalu berkata: “Mereka mati
dalam keadaan memeluk
agamaku! Akan ku dirikan
sebuah tempat ibadah di pintu
gua itu.”
Sedang bangsawan yang
beragama Nasrani berkata pula:
“Mereka mati dalam keadaan
memeluk agamaku! Akan ku
dirikan sebuah biara di pintu gua
itu.”
Dua orang bangsawan itu
bertengkar, dan setelah melalui
pertikaian senjata, akhirnya
bangsawan Nasrani terkalahkan
oleh bangsawan yang beragama
Islam. Dengan terjadinya
peristiwa tersebut, maka Allah
SWT berfirman:
“Dan begitulah Kami
menyerempakkan mereka,
supaya mereka mengetahui
bahawa janji Allah adalah benar,
dan bahawa Saat itu tidak ada
keraguan padanya. Apabila
mereka berbalahan antara
mereka dalam urusan mereka,
maka mereka berkata, “Binalah
di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat
mengetahui mengenai mereka.”
Berkata orang-orang yang
menguasai atas urusan mereka,
“Kami akan membina di atas
mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi
Thalib berhenti menceritakan
kisah para penghuni gua.
Kemudian berkata kepada
pendeta Yahudi yang
menanyakan kisah itu: “Itulah,
hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah,
sekarang aku hendak bertanya
kepadamu, apakah semua yang
ku ceritakan itu sesuai dengan
apa yang tercantum dalam
Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab:
“Ya Abul Hasan, engkau tidak
menambah dan tidak
mengurangi, walau satu huruf
pun! Sekarang engkau jangan
menyebut diriku sebagai orang
Yahudi, sebab aku telah bersaksi
bahwa tiada tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah
hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku
pun bersaksi juga, bahwa
engkau orang yang paling
berilmu di kalangan ummat ini!”
*****
Subhanallah… betapa tak
terbayangkan jika diri ini bisa
berhadapan langsung dengan
Imam Ali RA dan bisa langsung
belajar tentang banyak ilmu
kepadanya. Membaca kisah di
atas saja sudah cukup
menjelaskan bahwa beliau ini
adalah benar sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW yaitu
sebagai “Pintunya ilmu”. Terlebih
beliau sendiri di ajari langsung
oleh Baginda Rasulullah
Muhammad SAW tentang
beragam ilmu dan pengetahuan,
selain hidayah yang di dapatkan
dari Allah SWT. Sehingga bisa
dikatakan bahwa beliau ini
adalah cendikiawan Muslim yang
pertama.
Jâbir bin Abdillah berkata: “Pada
peristiwa Hudaibiyah, aku
mendengar Rasulullah SAW
bersabda sambil memegang
tangan Ali RA: “Orang ini adalah
pemimpin orang-orang saleh,
pembasmi orang-orang zalim,
akan ditolong siapa yang
membelanya, dan akan terhina
siapa yang menghinanya.’
Lalunya mengeraskan suaranya:
“Aku adalah kota ilmu, sedang Ali
adalah pintunya. Barang siapa
yang ingin memasuki rumah,
hendaklah ia masuk melalui
pintunya”
“Engkau (Ali RA) adalah bagian
dariku dan aku adalah bagian
darimu” (HR. Al-Bukhari).
Semoga dengan kisah ini, maka
sebagai seorang Muslim kita
lebih termotivasi untuk terus
mengkaji beragam ilmu yang
terbentang luas di jagat raya ini
dan tidak pula melupakan
kenangan sejarah kemuliaan dari
generasi shalih terdahulu.
Yogyakarta, 22 Februari 2012
Mashudi Antoro (Oedi`)
[Disadur dari kitab: Qishasul
Anbiya yang tercantum dalam
kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas
Shihahis Sittah, karya: As-Sayyid
Murtadha Al-Huseiniy Al-Faruz
Aabaad]