Sabtu, 30 Maret 2013

hukum menikahi wanita hamil karena zina

Nikah dengan wanita hamil karena zina
By : TIM Dakwah Al-Bahjah Asuhan Buya Yahya

Dalam Mazhab Syafi’i sah nikah dengan wanita hamil karena zina. Ini dapat kita simak dari perkataan beberapa ulama Syafi’iyah, antara lain :

1. Imam Nawawi mengatakan :

“Apabila seorang perempuan berzina, maka tidak wajib atasnya ber’iddah, baik ia dalam keadaan tidak hamil maupun hamil. Karena itu, jika ia dalam keadaan tidak hamil, maka boleh bagi sipenzina dan lainnya yang bukan menzinainya melakukan akad nikah atasnya dan jika ia hamil karena zina, maka makruh menikahinya sebelum melahirkan anaknya.”[1]

2. Sayyed Abdullah bin Umar dan Syaikh Muhammad al-Asykhar al-Yamany mengatakan :

“Boleh nikah wanita hamil karena zina, baik oleh pezina itu sendiri maupun lainnya dan boleh disetubuhi ketika itu tetapi makruh”.[2]

3. Berkata Ibnu Hajar Haitamy :

“Adapun hukum nikah wanita hamil karena zina, terjadi khilaf yang tersebar dikalangan imam-imam kita dan lainnya. Yang sahih di sisi kita adalah sah. Pendapat ini juga telah dikatakan oleh Abu Hanifah r.a., karena wanita itu tidak dalam nikah dan tidak juga dalam iddah orang lain. Dari Malik ada sebuah qaul yang mengatakan sebaliknya”.[3]

4. Adapun hukum bersetubuh dengannya setelah dinikahi sebelum melahirkan adalah boleh berdasarkan pendapat yang tashih oleh Imam Nawawi dan Ar-Rafi’i. Berkata Ar-Rafi’i :

“Sesungguhnya tidak ada penghormatan bagi kandungan zina, kalau terlarang menyetubuhinya, maka terlarang juga menikahinya seperti bersetubuh dengan syubhat” . [4]

Berdasarkan boleh menyetubuhinya, maka hukumnya adalah makruh, karena keluar dari khilaf ulama yang mengharamkannya.

Adapun dalil yang memboleh menikahi wanita hamil, baik oleh penzinanya atau lainnya yang bukan menzinainya, antara lain :

1). Firman Allah Q.S al-Nisa’ : 24, berbunyi :

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ

Artinya : Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. (Q.S. al-Nisa’ : 24)

Perempuan yang hamil karena zina termasuk dalam katagori mutlaq perempuan yang dihalalkan untuk dinikahi pada ayat diatas, sementara itu, tidak dalil atau ‘illat lain yang menunjukkan kepada haram menikahinya. Apabila dikatakan perempuan hamil karena zina itu ber’iddah, ini juga tidak, karena hamil karena zina tidak dihormati dalam agama, buktinya anak dalam kandungannya itu tidak dihubungkan nasabnya kepada laki-laki penzinanya

2). Hadits Nabi SAW :

لا يحرم الحرام الحلال

Artinya : Perbuatan haram tidak mengharamkan yang halal.(H.R. al-Thabrany)

Al-Haitsami mengatakan, hadits ini diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Aushath, namun dalam sanadnya ada Utsman bin Abdurrahman al-Zahri, sedangkan dia ini matruk.[5] Jalan pendaliliannya adalah zina yang meyebabkan hamil adalah perbuatan haram. Karena itu, zina tersebut tidak dapat mengharamkan perbuatan halal, yakni halal dinikahi perempuan oleh seseorang laki-laki.

Imam Nawawi telah menyebut dua dalil di atas sebagai sebagian dalil boleh menikahi perempuan hamil karena zina dalam kitab beliau, Majmu’ Syarah al-Muhazzab[6]

3). Qaidah Fiqh berbunyi :

ألأصل في الأشياء الأباحة حتى يدل الدليل على التحريم

Artinya : Asal sesuatu adalah boleh sehingga ada dalil yang menunjukkan kepada haram[7]

Karena tidak ada hal-hal yang menyebabkan haram atau tidak sah, maka hukumnya adalah boleh.

Sedangkan dalil yang dikemukakan oleh yang mengharamkannya adalah berdasarkan Hadits Nabi SAW :

ﻻﻴﺤﻝﻷﺤﺩ ﻴﺅﻤﻥ ﺒﺎﺍﻠﻠﻪ ﻭﺍﻠﻴﻭﻡ ﺍﻷﺨﺭ ﺍﻥ ﻴﺴﻗﻲ ﻤﺎﺀ ﺯﺭﻉ ﻏﻴﺭﻩ

Artinya : tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiram air pada tanaman orang lain (H. R. Abu Daud)

Jawab kita :

Pendalilian dengan hadits di atas telah dibantah oleh Ibnu Hajar Haitamy, beliau mengatakan bahwa Asbabulwurud hadits tersebut untuk menjauhi menggauli wanita tawanan perang yang hamil, karena kandungannya terhormat, maka haram menggaulinya. Tidak sama halnya dengan kandungan karena zina, sesungguhnya tidak ada penghormatan baginya yang menghendaki kepada haram menggaulinya.[8]

Dalam Sunan Abu Daud, hadits ini berbunyi :

لايحل لامرىء يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره [9]

Ibnu al-Mulaqan mengatakan :

“Hadits ini shahih, telah diriwayat oleh Ahmad dalam Musnadnya, Abu Daud dan al-Turmidzi dalam Sunan keduanya dari Ruwaifa’ bin Tsabit al-Anshary.”[10]

Sebagian umat Islam berbeda pendapat dengan pendapat di atas, mereka mengatakan wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat, yaitu :

a. Dia dan si laki-lakinya taubat dari perbuatan zinanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Artinya : Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (Q.S. an-Nur : 3)

Mereka mengatakan, ayat ini menjadi dalil tidak boleh menikah dengan orang-orang yang dhahir padanya perbuatan zina[11]

Jawaban kita :

Memadai bagi kita keterangan yang disampaikan oleh Imam Syafi’i dalam al-Um, beliau setelah menyebut beberapa penafsiran yang disampaikan oleh ahli tafsir mengenai tafsir ayat di atas, mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Sa’id bin al-Musaiyab, salah seorang ahli tafsir dari Tabi’in merupakan pendapat yang didukung oleh al-Kitab dan al-Sunnah. Pendapat Sa’id al-Musaiyab tersebut adalah : ayat di atas sudah dinasakh oleh ayat :

وَأَنْكِحُوا الأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ من عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ

Karena penzina itu termasuk dalam kelompok “al-ayaamii” (yang belum nikah) dari kamu muslimin.[12] Karena itu, ayat di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah penetapan suatu hukum.

b. Harus beristibra' (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haid bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

لاَ تُوْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَسْتَبْرِأَ بِحَيْضَةٍ

Artinya : Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra' dengan satu kali haid.(H.R. Abu Daud)[13]

Hadits ini juga diriwayat oleh Al-Hakim, beliau mengatakan :

“Hadits ini shahih atas syarat Muslim”[14]

Dalam hadits di atas Rasulullah melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haidl, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.

Jawab kita :

Hadits ini membicarakan masalah perempuan tawanan perang yang lagi hamil menjadi budak karena merupakan rampasan perang, buktinya ujung hadits ini menjelaskan bahwa perempuan yang tidak hamil memadai dengan istibra’ (menunggu masa tertentu untuk memastikan kosong rahim seorang budak perempuan) hanya dengan satu kali haid. Sedangkan istibra’ hanya dengan satu kali haid hanya berlaku pada budak, tidak berlaku pada perempuan merdeka. Perempuan-perempuan tawanan tersebut tidak dapat disamakan dengan kasus seorang perempuan yang hamil karena zina. Kehamilan pada perempuan tawanan perang berlaku istibra’, karena kehamilan perempuan tersebut adalah dikarenakan suaminya, oleh karena itu, wajib menunggu sampai melahirkan. Berbeda halnya dengan perempuan yang hamil karena zina, kehamilannya itu tidak dihormati. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban ber’iddah.

Kesimpulannya

Nikah dengan dengan wanita hamil dibolehkan menurut mazhab Syafi’i, tetapi makruh menggaulinya, karena keluar dari khilaf yang mengharamkannya. Keluar dari khilaf dianjurkan dalam syari’at kita sesuai dengan qaidah fiqh :

االخروج من الخلاف مستحب

ِArtinya : keluar dari khilaf ulama , hukumnya dianjurkan [15]

[1] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 242

[2].Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 201

[3] Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 93-94

[4] Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94

[5] Al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IV, Hal. 311

[6] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 242

[7] Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 43

3. Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 94

[9] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Juz. I, Hal. 654, No. Hadits : 2158

[10] Ibnu al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 214

[11] Muhammad bin al-‘Atsimaini, Tukmalah Fatawa al-Mauqa’, Maktabah Syamilah, Nomor : 85335, Hal.1

[12] Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 148

[13] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I I, Hal. 213, No. Hadits : 2159

[14] Ibnu al-Mulaqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 142

[15] . As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nadhair, Al-Haramain, Indonesia, Hal. 94

Sabtu, 09 Maret 2013

QUNUT DALAM SHALAT SHUBUH, PENDAPAT TERKUAT ULAMA SALAF

Pada dasarnya persoalan membaca qunut atau tidak dalam shalat shubuh telah menjadi perselisihan di kalangan ulama sejak generasi salaf yang shaleh. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, membaca qunut tidak disunnahkan dalam shalat shubuh. Sementara menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i, membaca qunut disunnahkan dalam shalat shubuh.
Kedua pendapat tersebut, baik yang mengatakan sunnah atau tidak, sama-sama berdalil dengan hadits-hadits Rasulullah SAW.

Hanya pendapat yang satunya berpandangan bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak membaca qunut itu lebih kuat. Sementara pendapat yang satunya lagi berpendapat bahwa riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut justru yang lebih kuat. Jadi pandangan kaum Salafi-Wahabi yang mengatakan bahwa membaca qunut itu tidak ikut Rasulullah SAW adalah salah dan tidak benar. Nah untuk menjernihkan persoalan ini, marilah kita kaji dalil tentang qunut ini dari perspektif ilmu hadits.

Sebagaimana dimaklumi, pandangan Imam al-Syafi’i yang menganjurkan membaca qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh mayoritas ulama ahli hadits, karena agumentasinya lebih kuat dari perspektif ilmu hadits. Terdapat beberapa hadits yang menjadi dasar Imam al-Syafi’i dan pengikutnya dalam menganjurkan membaca qunut dalam shalat shubuh.

Dalil Pertama:

عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ سِيْرِيْن قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ هَلْ قَنَتَ رَسُولُ اللهِ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ قَالَ نَعَمْ بَعْدَ الرُّكُوعِ يَسِيرًا. (رواه مسلم في صحيحه).
“Dari Muhammad bin Sirin, berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik: “Apakah Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat shubuh?” Beliau menjawab: “Ya, setelah ruku’ sebentar.” (HR. Muslim, hadits no. 1578).

Dalil Kedua:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا. (رواه أحمد والدارقطني والبيهقي وغيرهم بإسناد صحيح).
“Dari Anas bin Malik, berkata: “Rasulullah SAW terus membaca qunut dalam shalat fajar (shubuh) sampai meninggalkan dunia.” (HR. Ahmad [3/162, al-Daraquthni [2/39], al-Baihaqi [2/201] dan lain-lain dengan sanad yang shahih.

Hadits di atas juga dishahihkan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [3/504]. Beliau berkata: “Hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh banyak kalangan huffazh dan mereka menilainya shahih. Di antara yang memastikan keshahihannya adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitab-kitabnya dan al-Baihaqi. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-Daraquthni dari beberapa jalur dengan sanad-sanad yang shahih.”

Sebagian kalangan ada yang mendha’ifkan hadits di atas dengan alasan, di dalam sanadnya terdapat perawi lemah bernama Abu Ja’far Isa bin Mahan al-Razi. Alasan ini jelas keliru. Karena Abu Ja’far al-Razi dinilai lemah oleh para ulama ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in, dalam riwayatnya dari Mughirah saja. Sementara dalam hadits di atas, Abu Ja’far meriwayatkan tidak melalui jalur Mughirah, akan tetapi melalui jalur al-Rabi’ bin Anas. Sehingga hadits beliau dalam riwayat ini dinilai shahih.

Dalil Ketiga:

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِيْ صَلاَةِ الصُّبْحِ فِيْ آَخِرِ رَكْعَةٍ قَنَتَ. (رواه ابن نصر في قيام الليل بإسناد صحيح).
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW apabila bangun dari ruku’ dalam shalat shubuh pada rakaat akhir, selalu membaca qunut.” (HR. Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam kitab Qiyam al-Lail [137] dengan sanad yang shahih).

Demikianlah ketiga hadits di atas yang dijadikan dalil oleh al-Imam al-Syafi’i dan pengikutnya. Sementara sebagian ulama yang tidak menganjurkan qunut dalam shalat shubuh, berdalil dengan hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ. (رواه مسلم في صحيحه)
“Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah SAW membaca qunut selama satu bulan, di dalamnya mendoakan keburukan bagi beberapa suku Arab, kemudian meninggalkannya.” (HR. Muslim, hadits no. 1586).

Dalam hadits shahih di atas, ternyata Rasulullah SAW membaca qunut hanya satu bulan, kemudian sesudah itu meninggalkannya. Menanggapi hadits tersebut, para ulama ahli hadits berpendapat, bahwa hadits ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca qunut dalam shalat shubuh sampai wafat. Karena yang dimaksud dengan hadits terakhir di atas adalah, Rasulullah SAW melaknat atau mendoakan keburukan dalam qunut bagi beberapa suku Arab itu hanya satu bulan, setelah itu beliau tidak melaknat lagi, tetapi bukan berarti Rasulullah SAW meninggalkan qunut. Beliau membaca qunut dalam shalat shubuh sampai wafat sebagaimana beberapa riwayat sebelumnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra.

Oleh karena, pendapat yang menetapkan qunut shubuh, lebih kuat dari segi dalil, maka pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf. Dalam konteks ini, al-Imam al-Hafizh al-Hazimi berkata dalam kitabnya al-I’tibar fi Bayan al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar (hal. 90):

وَقَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ :فَذَهَبَ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ إِلَى إِثْبَاتِ الْقُنُوتِ ، فَمِمَّنْ رُوِّينَا ذَلِكَ عَنْهُ مِنَ الصَّحَابَةِ : الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ : أَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ ، وَعُثْمَانُ ، وَعَلِيٌّ ، وَمِنَ الصَّحَابَةِ : عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ، وَأَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، وَأَبُو هُرَيْرَةَ ، وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ ، وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ.
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang qunut dalam shalat shubuh. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi berikutnya dari para ulama berbagai kota berpendapat menetapkan qunut. Di antara para sahabat yang diriwayatkan kepada kami membaca qunut adalah; Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Demikian pula Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari, Abdurrahman bin Abi Bakar, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, al-Bara’ bin Azib, Anas bin Malik ....”.

Setelah memaparkan bahwa membaca qunut diikuti oleh mayoritas ulama, al-Hazimi kemudian menguraikan bahwa pandangan yang menafikan qunut dalam shalat shubuh diikuti oleh sekelompok ulama dengan alasan bahwa hukum membaca qunut dalam shalat shubuh telah dimansukh (dihapus hukumnya).

Selanjutnya al-Hazimi membantah dengan tegas pendapat yang menafikan qunut tersebut dari aspek ilmu hadits dan ushul fiqih.
Pada dasarnya, pendapat yang mengatakan sunnah maupun tidak sunnah membaca qunut dalam shalat shubuh sama-sama didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW. Hanya saja pendapat yang mengatakan sunnah lebih kuat dari aspek tinjauan ilmu hadits dan ushul fiqih, serta diikuti oleh mayoritas ulama dari generasi salaf yang shaleh dan ahli hadits. Wallahu a’lam bis-shawab.

Ustadz Muhammad Idrus Romli