Senin, 05 Mei 2014

F0001. BID'AH MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Bid’ah adalah perkara teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah mewanti- wanti kita jangan sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al waritsatul anbiya, sepanjang usia umat ini, terus mengingatkan dan membentengi umat dari bid’ah yang amat tercela. Dan seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu disampaikan dan diingatkan ketenah-tengah umat, mengingat besarnya bahaya bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Namun masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial.
Lain halnya bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang merupakan perbuatan yang sangat tercela. Namun, jika suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila kita saling menuding dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah.
Sehingga melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak. Amin.
PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya ; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
1.Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]
2.Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]
3.Muhammad Rasyid Ridha. Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela ?
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut : “Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam :
1.Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2.Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3.Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.
4.Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5.Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Kitab Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah.
PENJELASAN HADITS-HADITS TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.
Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan : Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
1.Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
2.Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Di antaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur. Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23).
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8).
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata : “Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU (Tidak Ada Di Zaman Nabi ) DAN SUMBERNYA *
1.Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
2.Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
3.Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
4.Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat
5.Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
6.Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb. Jelas banyak dalilnya.
7.Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
8.Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil Atau Bertentangan Dengan Syari’at
1.Melakukan shalat karena adanya bulan purnama. Tidak ada sumbernya
2.Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll. Tidak ada sumbernya
3.Shalat dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
4.Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab. Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat.
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi).
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
______________________________________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.
[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah

Kamis, 13 Juni 2013

KHUTBAH NIKAH

Khutbah Pernikahan

الحَمْدُ للهِ المَحْمُودِ بِنِعْمَتِهِ, المَعْبُودِ بِقُدْرَتِهِ, المُطَاعِ بِسُلْطَانِهِ, المَرْهُوبِ مِنْ عَذَابِهِ وَسَطْوَتِهِ, النَّافِذِ أَمْرُهُ فِى سَمَائِهِ وَأَرْضِهِ, الذى خَلَقَ الخَلْقَ بِقُدْرَتِهِ, وَمَيَّزَهُمْ بِأَحْكَامِهِ, وَأَعَزَّهُمْ بِدِيْنِهِ, وَأَكْرَمَهُمْ بِنَبِِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ. اللَّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّم وَكَرِّمْ وَمَجِّدْ وَعَظِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita bersama, sehingga saat ini kita dapat hadir guna memberikan kesaksian dan doa restu kepada kedua calon mempelai yang sesaat lagi akan melaksanakan akad nikah.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, keluarga, sahabat dan ummatnya yang berpegang teguh kepada sunnah-sunnahnya.
Hadirin yang berbahagia. Sesaat lagi kita akan menyaksikan berlakunya sunnatullah bagi setiap hambanya. Kita akan mendengar dua kalimah, yakni ijab dan Kabul yang diucapkan wali dan pengantin pria. Ijab kabul bagi kedua mempelai, ibarat persalinan kedua bagi kedua mempelai. Karena sebuah pernikahan dinamai juga dengan kelahiran kedua; kelahiran pertama, terjadi saat kehadiran anak manusia di pentas bumi ini, saat seseorang pertama kali menghirup udara lepas, ketika itu , masing-masing datang membawa amanah Allah kepada orang tua mereka. Kelahiran kedua, saat seseorang melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang perkawinan dengan ijab kabul, mereka lahir kedua kalinya, tetapi kini, masing-masing menerima amanat Allah melalui orang tua mereka. Selama menjadi amanah ditangan orang tua, sekuat kemampuan, mereka memelihara amanah itu. Ketulusan , bahkan pengorbanan demi pengorbanan mereka persembahkan demi menunaikan amanah itu. Kini pada saat kedua mempelai menerima amanat, maka hendaknya apa yang dilakukan oleh kedua orang tua masing-masing itu, diletakkan di pelupuk mata dan jendela hati, agar sebesar itu pula kesungguhan dan keikhlasan bahkan pengorbanan kedua mempelai memelihara amanat yang diterimanya.
Fase kelahiran yang kedua ini, anda berdua setelah dinikahkan, maka anda berdua juga harus dapat menikahkan budaya dan adat kebiasaan dua keluarga anda, bagaimana anda berdua menjadikan perbedaan budaya dan kebiasaan yang ada bukan sebagai sumber masalah tetapi menjadi inspirasi keindahan kehidupan bagi anda dan keluarga.
Pernikahan tidak cukup hanya dibangun, tetapi juga harus dipertahankan. Pernikahan dilaku- kan dengan kalimat Allah, agar calon suami dan isteri menyadari betapa sucinya peristiwa yang sedang mereka alami, dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan keluarga mereka dinaungi oleh makna kalimat itu: kebenaran, ketegar-an, keadilan, langgeng, tidak berubah, luhur, penuh kebajikan dan dikaruniai anak shaleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.
Kesucian peristiwa pernikahan ananda berdua ini, sehingga Allah meletakkan sejajar dengan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah (ar Ruum:21), bahkan Allah menyebutkan didalam Al Quran termasuk dalam kata mitsaqan ghalidza yaitu perjanjian yang agung atau perjanjian yang berat. Kata tersebut berulang tiga kali dalam al Quran.
Pertama : Ketika Allah membuat perjanjian dengan para Nabi (al Ahzab:7)
Kedua : Ketika Allah mengangkat bukit tursina dia tas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah (an Nisa:154)
Ketiga : Ketika Allah menyatakan hubungan pernikahan (an Nisa:21).
Dengan demikian maka ijab dan kabul merupakan perlimpahan amanat yang agung dari Allah, dan dari orang tua, seagung dan sekokoh perjanjian Allah dengan para Rasul. Karenanya, ijab kabul itu, hanya akan bermakna bila diucapkan oleh orang yang beriman, yang akan melahirkan sikap amanah dan rasa tanggung jawab kepada Allah dan kedua orang tua.
Amanah dari kata yang seakar dengan kata aman, yang bermakna tentram, juga seakar dengan kata iman yang berarti percaya. Ketiganya berbeda, tetapi dalam saat yang sama masing-masing memilikinya.
Isteri amanah dipelukan suami, suami pun amanah di pangkuan isteri. Orang tuadan
keluarga masing-masing, tidak mungkin akan merestui perkawinan tanpa rasa percaya dan aman. Suami demikian juga isteri- tidak akan menjalin hubungan, kecuali jika masing-masing mereka merasa aman dan percaya kepada pasanganya.
Kesediaan seorang isteri meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya, dan mengganti’ semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki ‘asing’ yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yangpaling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar disbanding dengan kebahagiaannya dengan ibu-bapaknya; pembelaaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan isteri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al Qur’an مِيْثَاقًا غَلِيظًا perjanjian yang amat kokoh.Perkawinan bukan hanya amanat dari mereka, tetapi juga amanat dari Allah SWT.Bukankah ia dijalin atas nama Allah dan dengan menggunakan kalimat-Nya?
Amanah dipelihara dengan mengingat kebesaran dan kemurahan Allah. Ia dipelihara dengan melaksanakan tuntunan agama. Siramilah amanah itu dengan shalat walau hanya lima kali sehari. Kukuhkan ia dengan berjamaah bersama pasangan karena jamaah juga dapat menjamin perekonomian anda berdua.
لاَخَيْرَ فِى دِيْنٍ لاَ صَلاَةَ لَهُ
Tiada kebaikan bagi satu agama yang tiada shalatnya.
مَنْ حَافَظَ على الصَّلاَةِ مع الجَمَاعَةِ لَمْ يُصِبْهُ فَقْرًا أَبَدَا
Barang siapa yang menjaga shalatnya secara berjamaah, dia tidak akan tertimpa kefakiran.
لاَدِيْنَ لِمَنْ لاَأَمَانَةَ لَهُ
Tidak beragama yang tidak memelihara amanahnya.
إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانَتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila amanah disia-siakan, maka nantikan masa kehancuran.
Kepada kedua mempelai niatkan pernikahan anda berdua sebagai bagian ibadah kepada Allah. Sehingga ringan bagi anda berdua untuk saling mendekatkan diri kepada Allah.
Akhir kata, jagalah amanah Allah dan kedua orang tua ini dengan baik, pergaulilah pasangan anda sebagaimana dipesankan oleh al Quran :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالمَعْرُوفِ
Dan pergaulilah pasanganmu dengan baik
Semoga akad nikah pada pagi hari ini diridloi oleh Allah dan semoga Allah berkenan memberikan barakah kebaikan dan kemaslahatan bagi mempelai berdua. Amin
أَقُولُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَشَايِخِى وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالحَاضِرِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوهُ . إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيْمُ.
الدُّعَاءُ بَعْدَ العَقْدِ
للحَبِيْب شَيْخ بن أَبُو بَكَر بْن مُحَمَّدْ السَّقَاف
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَحِيمِ. الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْعَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ هَذَا العَقْدَ مُبَارَكٌ وَالقِرَانَ سَعِيْدٌ. وَاجْعَلْ فِى قُدُمِهِمَا الخَيْرَ وَالبَرَكَةْ وَاليُمْنَ وَالسَّعَادَةَ الأَبَدِيَّةْ. وَبَارِكْ لَهُمَا وَاجْمَعْ شَمْلَهُمَا وَأَدِمِ الأُ لْفَةَ بَيْنَهمُمَا وَارزُقْهُمَا الأَرْزَاقَ الحِسِيَّةَ وَالمَعْنَوِيَّةَ, كُلُّ ذَلِكَ مَصْحُوبًا بِاللُّطْفِ وَالعَفْوِ وَالعَافِيَةِ التَّامَّةِ وَالصِّحَّةِ الكَامِلَةِ وَالذُّرِّيَّةَ الطَّيِّبَةَ المُبَارَكَة. بِحَقِّ رَبَّنَاهَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا. وَبِحَقَّ رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وإِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الفَاتِحَة…

FIQIH PERNIKAHAN

Wali Nikah Anak Zina

Deskripsi
Hamil di luar nikah akhir-akhir ini nampaknya telah menjadi hal biasa. Sebut saja Anton dan Tini, sepasang muda-mudi yang terlanjur melakukan hubungan di luar nikah. Demi menutupi aib keluarga, keduanya melangsungkan pernikahan setelah kandungan mulai membesar. Dan benar juga, belum ada enam bulan, sang anak telah terlahir. Dua puluh tahun kemudian, sang anak yang telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa, sebut saja Mawar, hendak melangsungkan pernikahan. Anton yang merasa sebagai bapak biologis Mawar, merasa mempunyai hak menjadi wali nikah. Dalam prosesi akad nikah, Anton mewakilkan ijab si Mawar pada Naib. Akhirnya Naib pun menikahkan Mawar dan dalam akad nikahnya, ia menyebutkan muwakkilnya. Misalnya,
(يا زيد أنكحتك وزوجتك مخطوبتك ماوار بنت أنطان مولية أبـيها الذى وكلنى بمهر مليون روبية حالا)
Pertimbangan:
Ü Menyembunyikan aib perbuatan zina adalah anjuran.
Ü Jika Mawar anak zina, pada kenyataanya yang mengijabkan nikahnya adalah Pak Naib yang notabenenya adalah wali hakim.
Pertanyaan
  1. Bolehkan Anton mewakilkan akad nikah Mawar pada pak Naib?
Jawaban
  1. Menurut Syafi’iyyah, taukil Anton tidak sah karena Anton tidak memilikiwilâyah at-tazwîj. Namun karena menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah wali Mawar adalah Anton (shâhibul firasy), maka dalam rangka untuk khurûj minal khilâf, Naib disunnahkan minta izin  kepada Anton untuk menikahkan Mawar, sehingga perwaliannya sah menurut ketiga madzhab (Syafi’i, Hanafi dan Maliki).
R E F E R E N S I
  1. Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 292
  2. Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol. VII hlm. 275
  3. Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 203
  4. Atsnâ Al-Mathâlib, vol. XI hlm. 72
  5. Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol. III hlm. 134
  6. Al-Qulyûby wa Umairah, vol. II hlm. 422
Pertanyaan
  1. Bagaimana hukum pernikahan Mawar?
Jawaban
  1. Apabila dalam akad nikah menggunakan sighat seperti dalam deskripsi (مولية أبيها الذى وكلنى) dengan sengaja dan Naib tahu taukilnya tidak sah, maka hukum pernikahannya tidak sah, karena shighat demikan termasuk kalam ajnabi.
R E F E R E N S I
  1. I’ânah Ath-Thâlibîn vol. III hlm. 373
  2. Al-Mantsûr Fî Al-Qawâ’id, vol. II hlm. 255
  3. Nihâyah Az-Zain, hlm. 223
  4. Qalâ’id Al-Kharâ’id, vol. II hlm. 106

Menikahi Perempuan Pezina

Menikahi perempuan pezina disikapi para ulama dengan dua pendapat yang berbeda: 1. Haram 2. Diperbolehkan Dasar Hukum Rowa’i al Bayan Juz II halaman 49 الحُكْمُ الثَّالِثَ عَشَرَ: هَلْ يَصِحُّ الزَّوَاجُ بِالزَّانِيَةِ؟ إِخْتَلَفَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ فِى هَذِهِ المَسْأَلَةِ عَلَى قَولَيْن : الأَوَّلُ: حُرْمَةٌ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ, وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ عَلِيٍّ وَالبَرَّاءِ وَعَائِشَةَ وَابْنُ مَسْعُودٍ الثَّانِي: جَوَازُ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَذْهَبُ الجُمْهُورِ وَبِهِ قَال الفُقَهَاءُ الأَرْبَعَةُ مِنَ الأَئِمَّةِ المُجْتَهِدِيْنَ Hukum ketigabelas mengenai apakah sah menikahi perempuan pezina? Ulama salaf dalam menyikapi masalah ini, terpecah menjadi dua pendapat: 1. Haram menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Sayidina Ali, Al Barra’, Aisyah dan Ibn Mas’ud. 2. Diperbolehkan menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Abu Bakar, Umar dan Ibn Abbas. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas dan didukung Madzhab Empat yaitu para imam mujtahid kenamaan.

Kedudukan Kepala KUA Sebagai Wali Hakim Dalam Tinjauan Fiqh

Dalam PMA No. 11 Tahun 2007 disebutkan bahwa wali hakim bagi wanita yang tidak memiliki wali dengan berbagai sebab adalah Kepala KUA. Seorang Kepala KUA meskipun tidak bisa disejajarkan dalam derajat qodli karena tidak memiliki kewenangan mengadili maupun memutuskan, dan hanya sebagai seorang ma’dzun syar’i atau pegawai pencatat nikah, namun dalam kaitan statusnya sebagai wali hakim, Kepala KUA termasuk pada kriteria pegawai yang diberi wewenang. Bahkan seandainya pimpinan yang menunjuk sebagai wali hakim itu adalah seorang presiden perempuan. Keabsahan ini meneguhkan legalitas pernikahan yang dilakukan dengan perwalian hakim tersebab alasan yang dibenarkan syariat. sebagaimana keputusan Muktamar NU TH. 1999 di Kediri sbb: Deskripsi Masalah: Mengikuti perkembangan kondisi politik di tanah air pasca pemilu 1999 ini. Kiranya perlu segera ada sikap dan konsep yang jelas dari PBNU mengenai masalah yang sangat prinsip bagi kaum muslimin. Yaitu masalah WALI HAKIM dalam pernikahan, apabila presiden RI dijabat oleh seorang perempuan. Dalam hal ini NU telah menetapkan sejak Bung Karno, bahwa Presiden RI adalah Waliyyul amri adl-dlorury bisy-syaukah agar mengesahkan pernikahan yang dilakukan oleh wali hakim. Pertanyaan 1. Apakah wilayah hakim dalam pernikahan harus di tangan Presiden atau Menteri Agama saja? Jawaban: Wilayah hakim dalam pernikahan berada di tangan Presiden dan aparat terkait yang ditunjuk Presiden. Dasar Pengambilan: 1- المغنى الشرح الكبير لإبن قدامة المقدسى الجزء السابع ص 351 وعبارته: قال : صلى الله عليه وسلم فإن تشاجروا فالسلطان ولي من لاولي له اخرجه ابو داود. السلطان هنا هو امام او الحاكم او من فوّضا اليه ذلك. 2- اعانة الطالبين الجزء الثالث ص314 وعبارته: قوله والمراد اى السلطان: من له ولاية اى عامة اوخاصة…: وحاصل الدفع ان المراد بالسـلطان: كل من له سلطان وولاية على المرأة عاما كان كالامام او خاصا كالقاضى والمتولى لعقود الانكحة. 3- الباجورى الجزء الثانى ص106 وعبارته: ثم الحاكم عاما كان او خاصا كالقاضى اوالمتولى بعقود الانكحة او لهذا العقد بخصوصه. 2. Bila ditangan Presiden, apakah wanita sah menjadi wali hakim? Jawaban: Sah karena kelembagaan Presiden sebagai wilayah ammah.
Dasar Pengambilan:
1- بجيرمى على الخطيب الجزء الثانى ص: 337 وعبارته: لاتعقد امرأة نكاحا… إلا إذا وليت الامامة العظمى, فإن لها ان تزوج غيرها لا نفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه. 2- الباجورى الجزء الثانى ص:101 وعبارته: (وقوله ولاغيرها) اى ولاتزوج غيرها لابولاية ولاوكالة لخبر لاتزوج المرأة المرأة ولاالمرأة نفسها… نعم, إن تولت امرأة الإمامة العظمى والعياذ بالله تعالى نفذت احكامها للضرورة كما قاله عزالدين ابن عبد السلام وغيره وقياسه صحة تزويجها غيرها بالولاية العامة. 3.- حاشية البجيرمى على المنهج الجزء الثالث ص :337 4.- وعبارته:قال ح ل (الحلبى) إلا اذا وليت الامامة العظـمى فإن لها أن تزوج غيرها لانفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه
Namun terkadang seorang Kepala KUA melampaui kewenangannya dengan mewakilkan orang-orang yang ditunjuknya. Padahal aturan kenegaraan sebagaimana diatur dalam PMA 11 Tahun 2007 atau aturan-aturan sebelumnya sama sekali tidak memberi kewenangan kepada seorang Kepala KUA untuk mewakilkan. Aturan ini dikukuhkan oleh Fiqh sehingga orang yang menerima perwakilan wali hakim dari seorang Kepala KUA tidak sah menikahkan.
Namun, penggantian posisi wali hakim yang berhalangan ini disyahkan dalam tinjauan fiqh apabila disahkan oleh aturan Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam kitab Zaitunah al Ilqah halaman 169 :
وَنَصُّوا عَلَى أَنْ يَسْتَنِيْبَ إِذَا لَهُ * بِهِ أَذِنَ السُّلْطَانُ نَصًّا بِلاَ سَدِّ
وَحَيْثُ جَرَى إِذْنٌ لَهُ فِى تَزَوُّجٍ * فَزَوَّجَ صَحَّ العَقْدُ مِنْ غَيْرِ مَا صَدِّ
Ulama Syafiiyah menetapkan diperbolehkannya orang lain mengganti (posisi) hakim apabila pemerintah mengizinkan dengan penetapan yang tidak tertolak. Apabila izin bagi pengganti hakim dalam menikahkan didapatkan, kemudian pengganti hakim ini menikahkan, maka sahlah akad nikahnya tanpa ada halangan.
Ibarat kitab ini, disamping menguatkan pembolehan mengganti posisi wali hakim yang lowong oleh sebab-sebab tertentu, juga menafikan keabsahan wakalah wali hakim yang tidak dilakukan Ka Sie Urais untuk atas nama Menteri Agama, sebagaimana dalil diatas; orang lain boleh mengganti posisi hakim apabila pemerintah selaku sulthan mengizinkan. PMA no. 11 tahun 2007 menyatakan yang berhak menunjuk penghulu untuk mengganti jabatan Kepala KUA yang berhalangan untuk menjadi wali hakim adalah Ka Sie Urais. Karena itu Kepala KUA tidak boleh melampaui wewenangnya dengan mewakilkan sendiri tanpa sepengetahuan Ka Sie Urais Wallahu A’lam.

Keharusan Izin Bagi Wali Ghairu Mujbir

Suatu hari ada orang yang mempertanyakan tindakan penghulu yang memerintahkan kakak kandung yang menjadi wali dari adiknya untuk meminta izin adiknya yang menjadi pengantin apakah boleh mewakilkan proses ijab nya kepada penghulu. Selain kakak kandung seperti anak saudara, paman dan seterusnya disebut juga dengan wali ghoiru mujbir atau wali yang tidak bisa memaksa. Jika wali ghoiru mujbir ingin menikahkan seorang perempuan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti: 1. Wali ghoiru mujbir wajib meminta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Tidak mencukupi kalau hanya dari persetujuan perempuan tersebut atas tawaran ibunya atau orang lain. Wali ghoiru mujbir harus meminta izin atau mendapat izin secara langsung dari perempuan tersebut. 2. Wali ghoiru mujbir boleh mewakilkan kepada orang lain untuk mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan setelah mendapat izin dari perempuan yang hendak dinikahkan, dan selama tidak ada larangan untuk mewakilkan. 3. Wakil wali ghoiru mujbir disunnahkan untuk meminta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Dengan demikian tindakan penghulu yang seperti ini sudah sesuai dengan aturan seharusnya dan merupakan peng-ejawentahan dari penjelasan dari kitab al Majmu’ fi ahkam al nikah hal 97 : وَلِلأَبِ وَالجَدِّ التَوكِيْلُ فِى تَزْوِيْجِ البِكْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا وَلِغَيْرِهِمَا مِنَ الأَوْلِيَاءِ التَوْكِيْلُ بَعْدَ إِسْتِأْذَانِهَا إِنْ لَمْ تَنْهَ عَنِ التَوْكِيْلِ . فَلَو وَكَّلَ قَبْلَ أَنْ تَأَذَّنَ لَمْ يَصِحَّ وَيُنْدَبُ لِلوَكِيْلِ إِسْتِأْذَانِهَا. Diperbolehkan bagi ayah dan kakek untuk mewakilkan dalam pernikahan anaknya yang masih gadis tanpa seizinnya. Dan bagi wali-wali selain ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru mujbir) boleh mewakilkan setelah minta izin perempuan tersebut untuk menikahkannya, dan jika ia tidak melarang untuk mewakilkan. Andaikata wali ghoiru mujbir mewakilkan sebelum mendapat izin dari perempuan maka perwakilannya tidak sah. Dan disunnahkan bagi wakil wali ghoiru mujbir untuk minta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan. Al Fiqh al Minhaji hal 70, secara spesifik memberikan alasan ketidak absahan perwakilan wali ghoiru mujbir tanpa izin perempuan : أَمَّ غَيْرُ المُجْبِر مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَهُوَ غَيْرُ الأَبِّ وَالجَدِّ فَلاَ يَجُوزُ لَهُ التَّوَكِيْلُ فِى التَزْوِيْجِ إِلاَّ بِإِذْنِ المَرْأَةِ لأَنَّهُ لاَيَمْلِكُ تَزْوِيْجِهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا فَأَولَى أنْ لاَيَمْلِكُ أَنْ يَوَكِّلَ مَنْ يُزَوِّجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا Adapun wali ghoiru mujbir, yaitu selain ayah dan kakek (saudara, paman dst), tidak boleh mewakilkan untuk menikahkan seorang perempuan kecuali dengan seizing perempuan tersebut, karena ia tidak memiliki hak untuk menikahkannya tanpa seizinnya. Terlebih lagi, ia tidak berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkannya tanpa seizinnya. Proses izin kepada calon pengantin untuk mewakilkan proses ijab nikah bahkan disunnahkan untuk dipersaksikan apakah calon pengantin mengizinkan atau tidak, sebagaimana keterangan dalam I’anah al Tholibin Juz 3 Halaman 313 : وَيُنْدَبُ لِغَيْرِ الأَبِّ وَالجَدِّ الإِشْهَادُ عَلَى الإِذْنِ Disunnahkan bagi wali selain ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru mujbir) untuk mempersaksikan ketika perempuan memberi izin.

Memberikan Uang Pesangon Untuk Isteri Yang Diceraikan

Seharusnya sudah menjadi sesuatu yang dimaklumi, seorang suami memiliki kewajiban untuk menghidupi isterinya. tapi tidak jarang ada suami yang bergantung pada isterinya atau bahkan menelantarkan serorang isteri. Hubungan pernikahan disamping merupakan hubungan hati/perasaan, juga merupakan hubungan transaksional muamalah. Artinya ada hak-hak hukum dalam transaksi itu yang harus dipenuhkan. Diantara hak-hak hukum yang harus dipenuhkan adalah kewajiban memberikan mut’ah (uang pesangon) kepada isteri yang dicerai. Meskipun dalam budaya kita hal ini tidak populer terlebih bila sang suami merupakan orang yang tidak bertanggungjawab dan komitmen pernikahan adalah untuk selamanya, namun sebagai bukti pertanggungjawaban suami, bila suami menceraikan isterinya, dia wajib memberikan uang pesangon atau dalam bahasa arab disebut  mu’nah dengan ketentuan sebagai berikut :
• Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
• Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
• Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Penjelasan diatas lebih jelas bisa ditemukan dalam I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356
تَتِمَّةٌ تَجِبُ عَلَيْهِ لِزَوجَةٍ مَوْطُوعَةٍ وَلَو أَمَةً مَتْعَةٌ بِفِرَاقٍ بِغَيْرِ سَبَبِهَا وَبِغَيْرِ مَوتِ أَحَدِهِمَا (قَولُهُ لِزَوْجَةٍ مَوطُوعَةٍ) وَكَذَا غَيْرُ المَوطُوعَةِ التى لَمْ يَجِبْ لَهَا شَيْءٌ أَصْلاً وَهُوَ المُفَوِّضَةُ الَّتِى طُلِّقَتْ قَبْلَ الفَرْضِ وَالوَطْءِ فَتَجِبُ لَهَا المُتْعَةُ لِقُولِهِ تَعَالَى: لاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طُلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيْضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ .أمَّا الَّتِى وَجَبَ لَهَا نِصْفُ المَهْرِ فَلاَ مُتْعَةَ لَهَا لأَنَّ النِّصْفَ جَابِرٌ لِلإِيحَاسِ الَّذِى حَصَلَ لَهَا بِالطَّلاَقِ مَعَ سَلاَمَةِ بِضْعِهَا وَلَو قَالَ كَغَيْرِهِ لِزَوْجَةٍ لَمْ يَجِبْ لَهَا نِصْفُ مَهْرٍ فَقَطْ بِأَنْ لَمْ يَجِبْ لَهَا المَهْرُ أَصْلاً او وَجَبَ لَهَا المَهْرُ كُلُّهُ لَكَانَ أَولىَ لَهَا فِى عِبَارَتِهِ مِنَ الإِيْهَامِ الذِى لاَيَخْفَى.

googleb5361253a00a2be6.html

Kekeliruan Penghulu Dalam Menikahkan

Dalam sebuah pernikahan, tidak jarang kita menemui seorang wali, wakil wali atau pengantin pria keliru dalam mengucapkan sighat ijab kabul, sehingga seringkali “dipaksa” hadirin untuk diulang ijab kabulnya. Sebenarnya ada beberapa toleransi kekeliruan yang tidak mempengaruhi keabsahan sebuah akad. Salah satu contohnya adalah kekeliruan penghulu atau orang yang mendapat wakalah menikahkan, menyebutkan nama wali, seperti Fatimah binti Utsman diucapkan Fatimah binti Umar, maka pernikahan itu hukumnya tetap sah apabila pada waktu akad tadi wali atau penghulu memberi isyarat kepada calon isteri atau wali atau penghulu menyengaja terhadap calon isteri yang dimaksud seperti kata ya muhammad hadza (wahai muhammad ini/yang ada dihadapanku) meski ternyata namanya abdullah misalnya, ijab kabul tetap sah karena ada penyebutan hadza/orang ini atau diniatkan orang yang ada dihadapannya. ketentuan ini sesuai dengan paparan dalam kitab  Bughyatul Mustarsyidin halaman 200
(مَسْئَلَة ش) غَيَّرَتْ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا عِنْدَ إِسْتِئْذَانِهِاَ فِى النِّكَاحِ وَزَوَّجَهَا القَاضِىبِذَلِكَ الإِسْمِ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا غَيْرُ مَا ذَكَرْتَهُ فَإِنْ أَشَارَ إِلَيهَا حَالَ العَقْدِ بِأَنْ قَالَ زَوَّجْتُكَ هَذِهِ أَوْ نَوَيَاهَا بِهِ صَحَّ النِّكَاحُ سَوَاءٌ كَانَ تَغْيِيْرُ الإسْمِ عَمْدًا اوسَهْوًا مِنْهُ أَوْمِنْهَا إِذِ المَدَارُ عَلَى قَصْدِ الوَالى وَلَو قَاضِيًا وَالزَّوجُ كَمَا قَالَ زَوَّجْتُكَ هِنْدًا وَنَوَيَا دَعْدًا عَمَلاً بِنِيَّتِهَا
(masalah sy) seorang perempuan mengganti namanya atau nasabnya ketika meminta izin dalam pernikahan dan hakim menikahkannya dengan nama itu ternyata nama dan nasabnya itu bukan nama atau nasab yang disebutkan. Bila akad itu diisyaratkan kepadanya dengan gambaran hakim berkata saya nikahkan engkau dengan orang ini, atau meniatkan kepada sang pengantin putri ketika menyatakan nama yang keliru itu, maka pernikahannya tetap sah, baik perubahan nama itu disengaja atau karena lupa nasab dan namanya, karena acuan hukum yang digunakan adalah penyengajaan wali, meski wali hakim dan penyengajaan suami, sebagaimana perkataan wali saya nikahkan kamu dengan hindun dan meniatkan dakdan, hal ini juga berdasar niat pengantin perempuan.

Kehadiran Wali Nikah Yang Sudah Mewakilkan.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat, terutama dikalangan kelas menengah kebawah, seringkali wali nikah baik orang tua kandung, kakak kandung ataupun siapa saja yang kebetulan menjadi wali, mewakilkan pernikahan catin perempuan kepada penghulu. Atau atas pesan salah seorang pengantin agar Kyai yang menikahkan.
Tidak jarang dalam proses akad nikah tersebut, Kyai atau Penghulu setelah menerima akad wakalah/wakil untuk menikahkan, Kyai atau Penghulu memerintahkan wali untuk keluar dan tidak berada dalam majelis akad, dengan alasan sudah diwakilkan kok masih dimajelis?!
Sebenarnya  dalam tinjauan fiqh apabila seorang wali nikah telah mewakilkan akad nikah kepada orang lain, kemudian ikut hadir dalam majlis akad tersebut, maka akad itu dihukumi sah, selama hadirnya si wali tersebut tidak untuk menjadi saksi nikah. Penjelasan ini dapat dilihat lebih lengkap dalam Hasyiyah al Bajuri II/102 yang secara ringkas sebagai berikut
فَلَو وَكَّلَ الأَبُّ أَوِ الأَخُ المُنْفَرِدِ فِى العَقْدِ وَحَضَرَ مَعَ آخَرَ لِيَكُونَا شَاهِدَيْنِ لَمْ يَصِحَّ لأَنَّهُ مُتَعَيِّنٌ لِلعَقْدِ فَلاَ يَكُونُ شَاهِدًا.
Seandainya bapak atau saudara yang sendiri mewakilkan dalam akad, dan hadir besertaan yang lain agar keduanya menjadi saksi, maka pernikahan tersebut tidak sah karena saksi itu menegaskan keberadaan akad, maka wali tidak dapat menjadi saksi.

Akad Ulang Untuk Legalitas

Sering orang melakukan nikah sirri, tidak melalui KUA. Dikemudian hari, dia meresmikan pernikahannya melalui KUA dan dalam peresmian tersebut dia melakukan akad nikah lagi. Hukum akad nikah yang kedua ini adalah MUBAHdan dalam akad nikah kedua ini pengantin pria tidak wajib membayar mahar lagi. Nikah kedua ini juga tidak mempengaruhi terhadap haqqut thalaq menurut pendapat yang shahih. Yang mendasari pendapat ini adalah pernyataan dalam kitab Fathul Baari XIII/159
(بَابُ مَنْ بَايَعَ مَرَّتَيْنِ) حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمْ عَنْ يَزِيْدِ ابْنِ أَبِى عُبَيْدَة عَنْ سَلَمَةَ رض. قَالَ : بَايَعْنَا النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَقَالَ لِى اَلاَ تَبَايَعَ قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَارَسُولَ اللهِ فِى الأَوَّلِ قَالَ وَفِى الثَّانِى رَوَاهُ البُخَارِى قَالَ ابْنُ مُنِيْر يُسْتَفَادُ مِنْهَذَا الحَدِيْثِ أَنَّ إِعَادَةَ عَقْدِ النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ لَيْسَ فَسْحًا لِلْعَقْدِ الأَوَّلِ خِلاَفًا لِمَن زَعَمَ ذَلِكَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ قُلْتُ الصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ إِنَّهُ لاَ يَكُوْنُ فَسْخًا كَمَا قَالَ الجمْهُور أهـ
(bab tentang orang yang melakukan transaksi jual beli dua kali) bercerita kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari Yazid ibn Abi Ubaidah dari Salmah RA. Salmah berkata : “saya melakukan transaksi jual beli dengan Nabi Muhammad SAW di bawah pohon, kemudian Rasul berkata padaku, apakah kamu tidak melakukan akad transaksi? Saya telah melakukan akad wahai Rasulullah pada waktu pertama, Nabi berkata; dan pada waktu yang kedua.” Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier berpendapat : Dari hadits ini dapat diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa mengulangi akad nikah atau yang lainnya itu tidak merusak akad yang pertama berbeda dengan orang yang menyangka bahwa hal itu dari ulama as Syafii. Penyusun kitab Fathul Bari berkata : “ pendapat yang benar menurut ulama syafii, pernikahan itu sah tidak merusak sebagaimana disampaikan oleh mayoritas ulama.”
Akad nikah ulang atas perintah Kantor Urusan Agama ini, sama halnya dengan tajdiidunnikah atau orang jawa sering mengistilahkan dengan mbangun nikah.Menurut pendapat yang shahih, memperbarui nikah itu hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui akad itu hanya sekedar keindahan (tajamul) atau berhati-hati (ihtiyath). Meski pendapat lain sebagaimana disebutkan dalam kitab al Anwar akad baru tersebut bisa merusak akad yang telah terjadi.namun sejauh ini hanya kitab ini saja yang diketahui menyatakan bahwa mengulang nikah menyebabkan rusaknya pernikahan terdahulu. Ketentuan diatas didasari pernyataan pengarang kitabSyarah Minhaj Li Shihab Ibn Hajar Juz 4 halaman 391
إِنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةُ الزَّوجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدِ ثَانٍ مَثَلاً لاَيَكُونُ إِعْتِرَافًا بِإِنْقِضَاءِ العِصْمَةِ الأولَى بَلْ وَلاَ كِنَايَةَ فِيْهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لآنَّهُ مُجَرَّدُ تَجْدِيْدٍ طُلِبَ مِنَ الزَّوجِ لِتَجَمُّلٍ أَو إحْتِيَاطٍ فَتَأَمَّل.
Sesungguhnya murninya kecocokan suami pada kasus akad yang kedua misalnya, bukanlah pengakuan atas rusaknya penjagaan atas akad yang pertama, bahkan hal itu bukan sindiran untuk itu, dan ini jelas. Karena akad kedua itu hanyalah untuk memperbarui sebagai tuntutan pada suami untuk memperindah (hubungan) dan berhati-hati, camkanlah.
Terkait persepsi mengenai nikah bawah tangan (sirri) yang berbeda-beda diantara pihak pemerintah dan sebagian masyarakat menimbulkan saling curiga kedua pihak. Masyarakat sebagai pihak obyek hukum berkesan merasa selalu dipersulit. Pengajuan pencatatan nikah dari mereka yang pernah melakukan nikah bawah tangan diharuskan melakukan akad nikah kembali, jika tidak dipenuhi maka pihak KUA tidak berkenan memberi surat akta nikah dan hal yang demikian tidak jarang menimbulkan perdebatan ramai antara kedua belah pihak. Perlu diketahui bahwa KUA boleh memaksakan hal itu karena menjalankan ketentuan aturan negara. Bahkan apabila ditemukan  atau diduga terjadi kebohongan-kebohongan, perintah nikah ulang hukumnya menjadi wajib. Kewenangan perintah untuk mengulang nikah ini seiring dengan pendapat dalam kitab Ianat Thalibin Juz 3 hal 302 dan Asna al Mathalib Juz 3 hal 157
اعانة الطالبين ج 3 ص 302
وقوله فيه: متعلق بمحذوف صفة لحجة، أي بحجة مقبولة في ثبوت النكاح وهي رجلان، أو علم الحاكم
أسنى المطالب الجزء الثالث ص: 157
(قوله قال إبراهيم المروزي إلخ) أشار إلى تصحيحه وكتب عليه ما نقله عن المروزي مخالف لما صححه في النكاح من أن البالغة العاقلة إذا أقرت بالنكاح فقالت زوجني ولي بعدلين ورضاي إن كانت ممن يعتبر رضاها وكذبها الولي فثلاثة أوجه أصحها يحكم بقولها لأنها تقر على نفسها قاله ابن الحداد والشيخ أبو علي والثاني لا لأنها كالمقرة على الولي قاله القفال والثالث يفرق بين العفيفة والفاسقة قاله القاضي حسين ولا فرق في هذا الخلاف بين أن تقيد الإقرار وتضيف التزويج إلى الولي فيكذبها وبين أن تطلق ثم قال ويجري الخلاف أيضا في تكذيب الشاهدين إذا كانت قد عينتهما والأصح أنه لا عبرة بتكذيبهما لاحتمال النسيان والكذب هذه عبارته وبها يظهر أن ما نقله عن المروزي ضعيف مبني على أن تكذيب الشهود المعينين يقدح فإن قلنا لا يقدح قبل قولها في الموضعين وقد بينه في الكفاية كذلك فقال في باب التحليل ولو قال الزوج أنا أعلم أن الزوج الثاني لم يدخل بها ثم قال بعد ذلك علمت أنه أصابها قال الشافعي يقبل ذلك منه وكان له أن يتزوجها ولو قال الزوج الثاني لم أدخل بها وادعت الزوجة الدخول هل للأول نكاحها وكذلك لو جاء الولي والشهود الذين ادعت انعقاد النكاح بحضورهم وأنكروا ذلك لم يقبل منهم وأشار البغوي إلى شيء من ذلك وهو مستمد من إقرار المرأة بالنكاح فإن المذهب أنه يعمل به مع تكذيب الولي والشهود

Menikah melalui telepon/teleconfrence

Saya pernah mendengar kabar ada seorang dosen perguruan tinggi menikahkan anaknya melalui telepon. saya juga pernah mendengar seorang penghulu kantor urusan agama di jawa barat menikahkan melalui teleconfrence.
Sesungguhnya dalam tinjauan fiqh syafi Ijab qabul dalam akad nikah melalui telepon atau teleconfrence  hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan langsung antara orang yang melaksanakan akad nikah. Keharusan para pihak, calon pengantin harus dalam satu majelis ini untuk meminimalisir penipuan atau untuk meyakinkan terjadinya pernikahan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar II/51 dijelaskan :
(فرع) يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ خُضُورُ أَرْبَعَةٍ. وَلِيٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(cabang) disyaratkan dalam keabsahan nikah, hadirnya 4 orang: wali, calon suami dan dua orang saksi yang adil.
begitu juga dalam kitab Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib III.335 disampaikan
وَمِمَّا تَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَّبْطُ (قُولُهُ وَالضَبْطُ) اى لأَلْفَاظِ وَلِى الزَّوجَةِ وَالزَّوجُ فَلاَ يَكْفِى سِمَاعُ الفَاظِهِمَا فِى ظُلْمَةٍ لأَنَّ الأَصْوَاتَ تَشْبِيْهٌ.
Dan sebagian dari hal-hal yang diabaikan dari syarat saksi dalah mendengar, melihat dan cermat (pernyataan penyusun : dan cermat) maksudnya cermat atas ucapan wali pengantin putri dan pengantin putra. Tidak cukup mendengar ucapan mereka di kegelapan karena mengandung keserupaan.
Ketidak absahan ini bukan berarti hukum Islam mengesampingkan teknologi, namun dibalik kecanggihan teknologi juga ada kemudahan dalam memanipulasi. bisa saja suaranya dirubah, didubling oleh suara orang lain, pastinya kita sudah mengetahui banyak tentang hal ini.
Sebuah pernikahan merupakan benang tipis antara ibadah dan kemaksiatan, setiap kekeliruan dalam pernikahan bisa mengakibatkan perzinaan diantara dua orang. karena itu harus dijalankan secara berhati-hati dan tidak sembrono.
Bagaimana bila salah satunya berhalangan hadir? perlu diketahui pula, bahwa ketidak mampuan hadir dapat diganti dengan cara mewakilkan baik melalui surat, utusan orang atau telepon. Dalam Kantor Urusan Agama biasanya juga disediakan blangko tauliyah bil kitabah